http://http://www.scribd.com/doc/23143434/Kemunduran-Pendidikan-Islam#
kemunduran islam
ZEN ENGINE
Jumat, 11 Desember 2009
Biologi dan Perkembangan nya
1.Asal mula kehidupan menurut ilmu pengetahuan modern
Ada berbagai pendapat berupa hipotesis yang mengungkapkan asal mula kehidupan antara lain :
a. Genetia Spontanea
Sebelum abad 17 orang menganggap bahwa makhluk hidup terbentukr secara spontan
Contoh :
Ulat timbul dengan sendirinya dari bangkai
Cacing dari dalam lumpur
Gudang padi muncul tikus
Paham ini disebut Abiogenesis artinya makhluk hidup dapat terbentuk dari bukan makhkluk.misalnya dari lumpur timbul cacing. Paham ini di pelopori juga oleh Aristoteles.
b. Cosmozoa
Ada pendapat bahwa makhluk hidup di bumi ini asal mula nya adalah dari luar bumi. Benda hidup yang datang itu mungkin berbentuk spora yang aktif jatuh ke bumi lalu berkembang biak. Hipotesis ini terlalu lemah karena tidak di dukung oleh fakta-fakta dan juga tidak menjawab asal mula kehidupan.
c. Omme Vivum Ex ovo
Fransisco Redi (1626-1597 M) ahli biologi italia, dapat membuktikan bahwa ulat pada bangkai tikus berasal dari telur lalat yangl sengaja di letakkan, dari banyak percobaan, ia memperoleh kesimpulan “bahwa asal mula kehidupan dari telur”(omne vivum ec ovo).
d. Omme Vivum Ex vivo
Lazzaro Spallanzani (1729-1799 M) dari italia, dengan percobaan terhadap kaldu, membuktikan bahwa jasad remik atau mikroorganisme yang mencemari kaldu dapat membusukkan kaldu. Bila di tutup rapat setelah mendidih tidak membusuk. Ia berpendapat adanya telur harus ada jasad (omne ovo exvivo).
e. Omne Vivum exvivo
Louis Pasteur (1822-1895 M) sarjana kimia Prancis melanjutkan percobaan Lazzaro Spallanzani dengan percobaan berbagai mikroorganisme, tumbuh kehidupan yang baru atau di sebut omne vivum exvivo, disebut juga Biologenesis.
f. Teori Uray
Harold Uray (1893 M) ahli kimia dari amerika serikat, mengemukakan atmosfer bumi pada awalnya kaya akan gas metana (CH4), amoniak (NH3),hydrogen (H2), dan air (H2o). Zat itu merupakan unsur-unsur penting dalam tubuh makhluk hidup. Zat hidup yang mula-mulanya sama dengan keadaan virus sekarang. Berjuta-juta berkembang menjadi berbagai organisme.
g. Teori Oparin-Haldane
A.l oparin ahli biologi dari rusia, 1924 M. pendapat nya tentang asal mula kehidupan tidak mendapat sambutan dari para ahli. Pada tahun 1963 M barulah di tanggapi dengan serius. Dalam berbagai bahasa J.B.S. Haldane ahli biologi bangsa Inggris secara terpisah mempunyai pendapat serupa, berikut ringkasannya ;
Jasad hidup terbentuk dari senyawa kimiawi, senyawa ini antara lain adalah asam amino,purine dan basa pirimidin. dan senyawa golongan gula terbentuk pula senya wa polipeptda asam poliuneklat dan polisakarida, semuanya terbentuk atas bantuan sinar Ultra violet.
Pada tahun 1953 M. Stanley L.Miller, ,murid uray membuat percobaan yang berlngsung 7 hari, baru di teliti hasil reaksinya. Perbedaan antara makhluk hidup dengan benda mati antaralain :
1. Bentuk dan ukuran
Makhluk hidup mempunyai bentuk dan ukuran,benda mati tidak.
Contoh : Batu ada yang sebesar butir pasir dan ada yang sebesar gunung;
Sedangkan manusia ukuran dan bentuk nya tertentu.
2. Komposisi kimia
Makhluk hidup mempunyai komposisi kimia tertentu, yaitu karbon (C), Hidrogen (H), oksigen (O) Nitrogen (N), sulfur (S), dan mineral. Benda mati komposisi kimia nya tidak tertentu.
3. Organisme
Sel berbentuk jaringan, dan jaringan berbentuk organ, system organ membentuk proses hidup. Benda mati misalnya batu,susunan sedemikian rupa adalah dari hasil unsur pokok.
4. Pada makhluk hidup terjadi pengambilan dan penggunaan makanan,respirasi/pernapasan, sekresi dan ekresi.
5. Iritabilitas
Makhluk hidup dapat memberikan reaksi pada perubahan, misalnya cahaya, gerakan, dan suhu.
6. Reproduksi
Pada makhluk hidup,kemampuan untuk membuat makhluk itu menjadi banyak.
7. Tumbuh dan mempunyai daur hidup
Makhkluk hidup mengalami proses pertumbuhan dan mempunyai daur hidup artinya melalui proses kelahiran tumbuh dewasa dan mati.
Fisika dan Perkembangannya
Ilmu pengetahuan mulai berkembang sejak manusia menggunakan pola pikir. Ilmu pengetahuan berkembang dengan adanya pengamatan, pengalaman dan pemikiran yang terbatas.
Perkembangan Pada Tahun Sebelum Masehi
Benda terdiri dari 4 unsur utama udara, api, air, dan tanah. Benda terjadi atas dua unsur dasar yaitu, material dan essentia. Api mempunyai sifat panas dan kering, bumi mempunyai sifat dingin dan kering. Udara bersifat panas dan bahasa. Air bersifat dingin basah. Teori ini dikemukakan oleh Aristoteles.
Teori kenisbian ruang dan waktu dan kuantum mendasari perkembangan fisika inti. Dialog Abu Hanifah (767 M) :seorang mu’tazilah bertanya tentang pusat bumi, ia menjawab “ Ditempat yang terang dimana kau sedang duduk ”. jawaban ini bukti tertentu dan telah bermaksud menyampaikan bahwa bumi juga peta-peta dunia yang disiapkan orang-orang terdahulu menggambarkan bumi itu bulat.
1.Astronomi (Perbintangan)
Penemuan dan pelajaran sejumlah bintang di akui menjadi suatu sumbangan orang islam yang berharga dan tak dapat di lupakan. Orang arab badui sebelum islam telah mengembangkan observasi-observasi perbintangan yang sangat tepat, tidak hanya untuk hanya perjalanan malam hari mereka gurun pasir, tapi juga untuk ilmu cuaca dan sebagainya. Observasium telah timbul dimana-mana dibawah khalifah Al-Makmum, lingkaran bumi telah di ukur dengan ketapatan hasil yang mengagumkan.
2.Ilmu alam
Sifat khas dari aspek ilmu islam ini adalah tekanan diberikan pada percobaan dan penelitian tanpa prasangka.Para pengarang mulai mempelajari ilmu-ilmu mereka dengan mempersiapkan kamus dengan menggolongkan istilah-istilah tekhnis(TECHNICAL TERNIS), yang di dapat dalam bahasa mereka sendiri. Dan mereka mengumpulkan dari semua kitab puisi dan prosa denga kutipan-kutipan yang berguna, diantara anatomi( ilmu urat tubuh),zoologi(ilmu tumbuh-tumbuhan),astronomi(ilmu perbintangan) mineralogy(ilmu penambangan) dan sebagainya.
Ilmu kedokteran juga membuat kemajuan luar biasa dibawah orang-orang islam,di dalam cabang anatomi,pharmacho logi( ilmu khasiat obat). Mempunyai perbatasan-perbatasan umum dengan Byzantium, india , china dan sebagainya.
Keahlian dan ilmu kedokteran islam telah menjadi suatu perpaduan dari ilmu kedokteran dunia,karya-karya Razi, Ibnu Sina dan lain-lain,sampai sekarang tetap menjadi dasar semua pelajaran kedokteran juga di barat.
3.Ilmu Politik (Penglihatan/Mata)
Ilmu ini terutama berutang budi kepada orang-orang islam.Buku tentang sinar-sinar oleh Al khindi (abad IX) yang telah maju dari pengetahuan breek tentang kaca mata pembakar.Ibnu Al Haitan(Alhazen,965M) yang telah mengikutinya patut di anugrahi kemasyhuran.
4.Meneralogi, ilmu Mekanik(pesawat).
Ini telah menarik perhatian orang terpelajar,kedua-duanya dari segi kedokteran.Untuk membedakan batu-batu berharga, ilmu tersebut banyak di cari oleh manusia.
Ibnu Firmas(wafat tahun 888 M) telah menemukan suatu alat, yang dengan alat itu dia terbang pada suatu jarak yang jauh. Dia meninggal dalam suatu kecelakaan dan tidak meninggalkan pengganti.
Kimia dan perkembangannya
Ilmu kimia juga mendapat mendapat perhatian dari al qur an untuk di kembangkan. Manusia dan seluruh lingkungan hidupnya terbentuk dari element-element yang tergabung menjadi sebuah ikatan kimia menurut hukum allah. Ayat berikut mengemukakan kekuatan “ PENAWARAN” yang di lakukan tuhan dan memberikan inspirasi kepada para ilmuwan untuk melakukan proses kimiawi dengan campuran berbagai unsur kimia dengan proposi tertentu membuat hal yang mirip dengan itu.
“ Sibghah allah dan siapakah yang lebih baik sibghah-Nya dari pada allah? Dan hanya kepadanya lah kami menyembah. ” ( Q.S Al Baqarah 2:138).
Perhatikan pula bagaimana proses penciptaan manusia yang menjadi titik sentral studi para teolog, filsufuf, dan ilmuwan berabad-abad lamanya.
“Dialah yang menjadikan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukan ajal (kematian )dan ada lagi suatu ajal yang tentukan (untuk berbangkit yang ada pada sisinya yang dia sendirilah memgetahuinya), memberikan kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu).” Q.S.Al-an’am 6:2)
“Mahasuci allah yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari mereka maupun dari apa yang tidak mereka kethui. ” (Q.S. Yasin 36:36).
Ayat diatas dan ayat-ayat lain yang serupa dalam al qur an mengajak manusia memikirkan dan merenungkan proses penciptaan yang di lakukan allah dengan berbagai konteksnya dan mendorong manusia mengadakan eksperimen serta mengadakan study tentang prubahan kimiawi yang memunculkan substansi baru.
Bagi ahli kimia ini merupakan indikasi yang jelas bahwa campuran unsur tertentu bisa menghasilkan unsure yang baru sama sekali tidak berhubungan dengan unsur-unsur asalnya dalam hal sifat, zat, atau dampak.
Dalam berbagai konteks, Al quran memberikan petunjuk berbagai permasalahan yang dihadapi manusia dan menjadi gudang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, dapat menjadi pendorong pembacanya untuk melakukan penelitian lebih lanjut dalam berbagai ilmu pengetahuan termasuk ilmu kimia.
1.Asal mula kehidupan menurut ilmu pengetahuan modern
Ada berbagai pendapat berupa hipotesis yang mengungkapkan asal mula kehidupan antara lain :
a. Genetia Spontanea
Sebelum abad 17 orang menganggap bahwa makhluk hidup terbentukr secara spontan
Contoh :
Ulat timbul dengan sendirinya dari bangkai
Cacing dari dalam lumpur
Gudang padi muncul tikus
Paham ini disebut Abiogenesis artinya makhluk hidup dapat terbentuk dari bukan makhkluk.misalnya dari lumpur timbul cacing. Paham ini di pelopori juga oleh Aristoteles.
b. Cosmozoa
Ada pendapat bahwa makhluk hidup di bumi ini asal mula nya adalah dari luar bumi. Benda hidup yang datang itu mungkin berbentuk spora yang aktif jatuh ke bumi lalu berkembang biak. Hipotesis ini terlalu lemah karena tidak di dukung oleh fakta-fakta dan juga tidak menjawab asal mula kehidupan.
c. Omme Vivum Ex ovo
Fransisco Redi (1626-1597 M) ahli biologi italia, dapat membuktikan bahwa ulat pada bangkai tikus berasal dari telur lalat yangl sengaja di letakkan, dari banyak percobaan, ia memperoleh kesimpulan “bahwa asal mula kehidupan dari telur”(omne vivum ec ovo).
d. Omme Vivum Ex vivo
Lazzaro Spallanzani (1729-1799 M) dari italia, dengan percobaan terhadap kaldu, membuktikan bahwa jasad remik atau mikroorganisme yang mencemari kaldu dapat membusukkan kaldu. Bila di tutup rapat setelah mendidih tidak membusuk. Ia berpendapat adanya telur harus ada jasad (omne ovo exvivo).
e. Omne Vivum exvivo
Louis Pasteur (1822-1895 M) sarjana kimia Prancis melanjutkan percobaan Lazzaro Spallanzani dengan percobaan berbagai mikroorganisme, tumbuh kehidupan yang baru atau di sebut omne vivum exvivo, disebut juga Biologenesis.
f. Teori Uray
Harold Uray (1893 M) ahli kimia dari amerika serikat, mengemukakan atmosfer bumi pada awalnya kaya akan gas metana (CH4), amoniak (NH3),hydrogen (H2), dan air (H2o). Zat itu merupakan unsur-unsur penting dalam tubuh makhluk hidup. Zat hidup yang mula-mulanya sama dengan keadaan virus sekarang. Berjuta-juta berkembang menjadi berbagai organisme.
g. Teori Oparin-Haldane
A.l oparin ahli biologi dari rusia, 1924 M. pendapat nya tentang asal mula kehidupan tidak mendapat sambutan dari para ahli. Pada tahun 1963 M barulah di tanggapi dengan serius. Dalam berbagai bahasa J.B.S. Haldane ahli biologi bangsa Inggris secara terpisah mempunyai pendapat serupa, berikut ringkasannya ;
Jasad hidup terbentuk dari senyawa kimiawi, senyawa ini antara lain adalah asam amino,purine dan basa pirimidin. dan senyawa golongan gula terbentuk pula senya wa polipeptda asam poliuneklat dan polisakarida, semuanya terbentuk atas bantuan sinar Ultra violet.
Pada tahun 1953 M. Stanley L.Miller, ,murid uray membuat percobaan yang berlngsung 7 hari, baru di teliti hasil reaksinya. Perbedaan antara makhluk hidup dengan benda mati antaralain :
1. Bentuk dan ukuran
Makhluk hidup mempunyai bentuk dan ukuran,benda mati tidak.
Contoh : Batu ada yang sebesar butir pasir dan ada yang sebesar gunung;
Sedangkan manusia ukuran dan bentuk nya tertentu.
2. Komposisi kimia
Makhluk hidup mempunyai komposisi kimia tertentu, yaitu karbon (C), Hidrogen (H), oksigen (O) Nitrogen (N), sulfur (S), dan mineral. Benda mati komposisi kimia nya tidak tertentu.
3. Organisme
Sel berbentuk jaringan, dan jaringan berbentuk organ, system organ membentuk proses hidup. Benda mati misalnya batu,susunan sedemikian rupa adalah dari hasil unsur pokok.
4. Pada makhluk hidup terjadi pengambilan dan penggunaan makanan,respirasi/pernapasan, sekresi dan ekresi.
5. Iritabilitas
Makhluk hidup dapat memberikan reaksi pada perubahan, misalnya cahaya, gerakan, dan suhu.
6. Reproduksi
Pada makhluk hidup,kemampuan untuk membuat makhluk itu menjadi banyak.
7. Tumbuh dan mempunyai daur hidup
Makhkluk hidup mengalami proses pertumbuhan dan mempunyai daur hidup artinya melalui proses kelahiran tumbuh dewasa dan mati.
Fisika dan Perkembangannya
Ilmu pengetahuan mulai berkembang sejak manusia menggunakan pola pikir. Ilmu pengetahuan berkembang dengan adanya pengamatan, pengalaman dan pemikiran yang terbatas.
Perkembangan Pada Tahun Sebelum Masehi
Benda terdiri dari 4 unsur utama udara, api, air, dan tanah. Benda terjadi atas dua unsur dasar yaitu, material dan essentia. Api mempunyai sifat panas dan kering, bumi mempunyai sifat dingin dan kering. Udara bersifat panas dan bahasa. Air bersifat dingin basah. Teori ini dikemukakan oleh Aristoteles.
Teori kenisbian ruang dan waktu dan kuantum mendasari perkembangan fisika inti. Dialog Abu Hanifah (767 M) :seorang mu’tazilah bertanya tentang pusat bumi, ia menjawab “ Ditempat yang terang dimana kau sedang duduk ”. jawaban ini bukti tertentu dan telah bermaksud menyampaikan bahwa bumi juga peta-peta dunia yang disiapkan orang-orang terdahulu menggambarkan bumi itu bulat.
1.Astronomi (Perbintangan)
Penemuan dan pelajaran sejumlah bintang di akui menjadi suatu sumbangan orang islam yang berharga dan tak dapat di lupakan. Orang arab badui sebelum islam telah mengembangkan observasi-observasi perbintangan yang sangat tepat, tidak hanya untuk hanya perjalanan malam hari mereka gurun pasir, tapi juga untuk ilmu cuaca dan sebagainya. Observasium telah timbul dimana-mana dibawah khalifah Al-Makmum, lingkaran bumi telah di ukur dengan ketapatan hasil yang mengagumkan.
2.Ilmu alam
Sifat khas dari aspek ilmu islam ini adalah tekanan diberikan pada percobaan dan penelitian tanpa prasangka.Para pengarang mulai mempelajari ilmu-ilmu mereka dengan mempersiapkan kamus dengan menggolongkan istilah-istilah tekhnis(TECHNICAL TERNIS), yang di dapat dalam bahasa mereka sendiri. Dan mereka mengumpulkan dari semua kitab puisi dan prosa denga kutipan-kutipan yang berguna, diantara anatomi( ilmu urat tubuh),zoologi(ilmu tumbuh-tumbuhan),astronomi(ilmu perbintangan) mineralogy(ilmu penambangan) dan sebagainya.
Ilmu kedokteran juga membuat kemajuan luar biasa dibawah orang-orang islam,di dalam cabang anatomi,pharmacho logi( ilmu khasiat obat). Mempunyai perbatasan-perbatasan umum dengan Byzantium, india , china dan sebagainya.
Keahlian dan ilmu kedokteran islam telah menjadi suatu perpaduan dari ilmu kedokteran dunia,karya-karya Razi, Ibnu Sina dan lain-lain,sampai sekarang tetap menjadi dasar semua pelajaran kedokteran juga di barat.
3.Ilmu Politik (Penglihatan/Mata)
Ilmu ini terutama berutang budi kepada orang-orang islam.Buku tentang sinar-sinar oleh Al khindi (abad IX) yang telah maju dari pengetahuan breek tentang kaca mata pembakar.Ibnu Al Haitan(Alhazen,965M) yang telah mengikutinya patut di anugrahi kemasyhuran.
4.Meneralogi, ilmu Mekanik(pesawat).
Ini telah menarik perhatian orang terpelajar,kedua-duanya dari segi kedokteran.Untuk membedakan batu-batu berharga, ilmu tersebut banyak di cari oleh manusia.
Ibnu Firmas(wafat tahun 888 M) telah menemukan suatu alat, yang dengan alat itu dia terbang pada suatu jarak yang jauh. Dia meninggal dalam suatu kecelakaan dan tidak meninggalkan pengganti.
Kimia dan perkembangannya
Ilmu kimia juga mendapat mendapat perhatian dari al qur an untuk di kembangkan. Manusia dan seluruh lingkungan hidupnya terbentuk dari element-element yang tergabung menjadi sebuah ikatan kimia menurut hukum allah. Ayat berikut mengemukakan kekuatan “ PENAWARAN” yang di lakukan tuhan dan memberikan inspirasi kepada para ilmuwan untuk melakukan proses kimiawi dengan campuran berbagai unsur kimia dengan proposi tertentu membuat hal yang mirip dengan itu.
“ Sibghah allah dan siapakah yang lebih baik sibghah-Nya dari pada allah? Dan hanya kepadanya lah kami menyembah. ” ( Q.S Al Baqarah 2:138).
Perhatikan pula bagaimana proses penciptaan manusia yang menjadi titik sentral studi para teolog, filsufuf, dan ilmuwan berabad-abad lamanya.
“Dialah yang menjadikan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukan ajal (kematian )dan ada lagi suatu ajal yang tentukan (untuk berbangkit yang ada pada sisinya yang dia sendirilah memgetahuinya), memberikan kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu).” Q.S.Al-an’am 6:2)
“Mahasuci allah yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari mereka maupun dari apa yang tidak mereka kethui. ” (Q.S. Yasin 36:36).
Ayat diatas dan ayat-ayat lain yang serupa dalam al qur an mengajak manusia memikirkan dan merenungkan proses penciptaan yang di lakukan allah dengan berbagai konteksnya dan mendorong manusia mengadakan eksperimen serta mengadakan study tentang prubahan kimiawi yang memunculkan substansi baru.
Bagi ahli kimia ini merupakan indikasi yang jelas bahwa campuran unsur tertentu bisa menghasilkan unsure yang baru sama sekali tidak berhubungan dengan unsur-unsur asalnya dalam hal sifat, zat, atau dampak.
Dalam berbagai konteks, Al quran memberikan petunjuk berbagai permasalahan yang dihadapi manusia dan menjadi gudang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, dapat menjadi pendorong pembacanya untuk melakukan penelitian lebih lanjut dalam berbagai ilmu pengetahuan termasuk ilmu kimia.
ISLAM DI SPANYOL
Spanyol mencapai masa keemasan pada periode ketiga, yaitu antara tahun 912-1013 M. Prestasi-prestasi yang mereka peroleh sangatlah banyak, hingga pengaruhnya sampai ke tanah Eropa hingga dunia, menuju pada kemajuan yang sangat kompleks, terutama kontribusinya pada dunia intelektual. Tak kalah pentingnya juga dalam pembangunan-pembangunan fisik yang sangat megah. Kemajuan intelektualnya terdiri dari hal filsafat, sains, fiqih, musik dan kesenian, bahasa dan sastra, kemegahan pembangunan fisik diantaranya Cordoba dan Granada. Hal ini tak luput dengan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi Islam di Spanyol mengalami masa keemasan.
Pengaruh peradaban Islam di Spanyol diantaranya membawa kemajuan Eropa yang terus berkembang dan sampai saat ini mereka berhutang budi pada khazanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang pada periode klasik.
A. Kejayaan Umat Islam di Spanyol dan Kemajuan Intelektual
Kesuburan negeri Spanyol mendatangkan hasil perekonomian yang tinggi, dan akhirnya melahirkan banyak pemikir. Masyarakat Islam Spanyol mendatangkan masyarakat yang majemuk yang terdiri atas komunitas Arab, bagian utara maupun selatan. Al-Muwalladun yaitu orang-orang Spanyol yang masuk Islam, Barbar yaitu orang Islam yang berasal dari Afrika Utara, al-Shaqalibah yaitu penduduk daerah antara Konstantinopel dan Bulgaria yang menjadi tawanan Jerman dan dijual kepada penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran, Yahudi, Kristen Muzareb yang berbudaya Arab, dan Kristen yang masih menentang Islam. Kecuali komunitas yang terakhir, memberikan saham intelektual yang melahirkan Kebangkitan Ilmiah, sastra, dan kemegahan pembangunan fisik di Spanyol.
1. Filsafat
Islam di Spanyol telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat brilian dalam bentangan sejarah Islam. Ia berperan sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad ke-12. Minat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke-9 M selama pemerintahan penguasa Bani Umayyah yang ke-5, Muhammad ibn Abdurrahman (832-886 M).
Atas inisiatif al-Hakam (961-976 M), karya-karya ilmiah dan filosofis diimpor dari Timur dalam jumlah besar, sehingga Cordova dengan perpustakaan dan universitas-universitasnya mampu menyaingi Baghdad sebagai pusat utama ilmu pengetahuan di dunia Islam. Apa yang dilakukan oleh para pemimpin dinasti Bani Umayyah di Spanyol ini merupakan persiapan untuk melahirkan filosof-filosof besar pada masa sesudahnya.
Tokoh utama pertama dalam sejarah filsafat Arab-Spanyol adalah Abu Bakr Muhammad ibn al-Sayigh yang lebih dikenal dengan Ibn Bajjah. Dilahirkan di Saragosa, ia pindah ke Sevilla dan Granada. Meninggal karena keracunan di Fez tahun 1138 M dalam usia yang masih muda. Seperti al-Farabi dan Ibn Sina di Timur, masalah yang dikemukakannya bersifat etis dan eskatologis. Magnum opusnya adalah Tadbir al-Mutawahhid.
Tokoh utama kedua adalah Abu Bakr ibn Thufail, penduduk asli Wadi Asy, sebuah dusun kecil di sebelah timur Granada dan wafat pada usia lanjut tahun 1185 M. Ia banyak menulis masalah kedokteran, astronomi dan filsafat. Karya filsafatnya yang sangat terkenal adalah Hay ibn Yaqzhan.
Bagian akhir abad ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang terbesar di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Ibn Rusyd dari Cordova. Ia lahir tahun 1126 M dan meninggal tahun 1198 M. Ciri khasnya adalah kecermatan dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam menggeluti masalah-masalah menahun tentang keserasian filsafat dan agama. Dia juga ahli fiqh dengan karyanya Bidayah al-Mujtahid.
2. Sains
Ilmu-ilmu kedokteran, musik, matematika, astronomi, kimia dan lain-lain juga berkembang dengan baik. Abbas ibn Famas termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi. Ialah orang pertama yang menemukan pembuatan kaca dari batu. Ibrahim ibn Yahya al-Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. Ia dapat menentukan waktu terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. Ia juga berhasil membuat teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ahmad ibn Ibas dari Cordova adalah ahli dalam bidang obat-obatan. Umm al-Hasan bint Abi Ja'far dan saudara perempuan al-Hafidz adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita.
Dalam bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam bagian barat melahirkan banyak pemikir terkenal, Ibn Jubair dari Valencia (1145-1228 M) menulis tentang negeri-negeri muslim Mediterania dan Sicilia dan Ibn Batuthah dari Tangier (1304-1377 M) mencapai Samudera Pasai dan Cina. Ibn al-Khatib (1317-1374 M) menyusun riwayat Granada, sedangkan Ibn Khaldun dari Tunis adalah perumus filsafat sejarah. Semua sejarawan di atas bertempat tinggal di Spanyol, yang kemudian pindah ke Afrika. Itulah sebagian nama-nama besar dalam bidang sains.
3. Fiqh
Dalam bidang fiqh, Spanyol Islam dikenal sebagai penganut mazhab Maliki. Yang memperkenalkan mazhab ini di sana adalah Ziad ibn Abdurrahman. Perkembangan selanjutnya ditentukan oleh Ibn Yahya yang menjadi Qadhi pada masa Hisyam Ibn Abdurrahman. Ahli-ahli Fiqh lainnya diantaranya adalah Abu Bakr ibn al-Quthiyah, Munzir Ibn Sa'id al-Baluthi dan Ibn Hazm yang terkenal.
4. Musik dan Kesenian
Dalam bidang musik dan suara, Spanyol Islam mencapai kecemerlangan dengan tokohnya al-Hasan Ibn Nafi yang dijiluki Zaryab. Setiap kali diselenggarkan pertemuan dan jamuan, Zaryab selalu tampil mempertunjukkan kebolehannya. Ia juga terkenal sebagai penggubah lagu. Ilmu yang dimiliknya itu diturunkan kepada anak-anaknya baik pria maupun wanita, dan juga kepada budak-budak, sehingga kemasyhurannya tersebar luas.
5. Bahasa dan Sastra
Bahasa Arab telah menjadi bahasa administrasi dalam pemerintahan Islam di Spanyol. Hal itu dapat diterima oleh orang-orang Islam dan non-Islam. Bahkan, penduduk asli Spanyol menomorduakan bahasa asli mereka. Mereka juga banyak yang ahli dan mahir dalam bahasa Arab, baik keterampilan berbicara maupun tata bahasa. Mereka itu antara lain: Ibn Sayyidih, Ibn Malik pengarang Aljiyah, Ibn Khuruf, Ibn al-Hajj, Abu Ali al-Isybili, Abu al-Hasan Ibn Usfur, dan Abu Hayyan al-Ghamathi. Seiring dengan kemajuan bahasa itu, karya-karya sastra bermunculan, seperti Al-'Iqd al-Farid karya Ibn Abd Rabbih, al-Dzakhirahji Mahasin Ahl al-Jazirah oleh Ibn Bassam, Kitab al-Qalaid buah karya al-Fath ibn Khaqan, dan banyak lagi yang lain.
B. Kemegahan Pembangunan Fisik
Aspek-aspek pembangunan fisik yang mendapat perhatian ummat Islam sangat banyak. Dalam perdagangan, jalan-jalan dan pasar-pasar dibangun. Bidang pertanian demikian juga. Sistem irigasi baru diperkenalkan kepada masyarakat Spanyol yang tidak mengenal sebelumnya. Dam-dam, kanal-kanal, saluran sekunder, tersier, dan jembatan-jembatan air didirikan. Tempat-tempat yang tinggi, dengan begitu, juga mendapat jatah air.
Orang-orang Arab memperkenalkan pengaturan hidrolik untuk tujuan irigasi. Kalau dam digunakan untuk mengecek curah air, waduk (kolam) dibuat untuk konservasi (penyimpanan air). Pengaturan hydrolik itu dibangun dengan memperkenalkan roda air (water wheel) asal Persia yang dinamakan naurah (Spanyol: Noria). Disamping itu, orang-orang Islam juga memperkenalkan pertanian padi, perkebunan jeruk, kebun-kebun dan taman-taman.
Industri, disamping pertanian dan perdagangan, juga merupakan tulang punggung ekonomi Spanyol Islam. Diantaranya adalah tekstil, kayu, kulit, logam, dan industri barang-barang tembikar.
Namun demikian, pembangunan-pembangunan fisik yang paling menonjol adalah pembangunan gedung-gedung, seperti pembangunan kota, istana, masjid, pemukiman, dan taman-taman. Diantara pembangunan yang megah adalah masjid Cordova, kota al-Zahra, Istana Ja'fariyah di Saragosa, tembok Toledo, istana al-Makmun, masjid Seville, dan istana al-Hamra di Granada.
1. Cordova
Cordova adalah ibu kota Spanyol sebelum Islam, yang kemudian diambil alih oleh Bani Umayyah. Oleh penguasa muslim, kota ini dibangun dan diperindah.
Cordova, di zaman pemerintahan Abdur Rahman III (khalifah ketiga Kerajaan Umayyah di Barat), adalah ibukota Andalusia. Di malam hari, kota ini diterangi dengan lampu-lampu terang untuk memudahkan orang-orang berjalan malam. Bukan hanya di dalam kota, tetapi juga jalan di luar kota diterangi dengan lampu sejauh 16 kilometer. Lorong-lorong sudah dikeraskan dengan koral, jalanan dibebaskan dari sampah dan kekotoran, terdapat pula taman-taman yang indah di mana para pendatang dapat santai beristirahat sebelum kembali ke rumahnya. Berpenduduk lebih dari satu juta jiwa (empat kali lebih banyak daripada penduduk kota terbesar di belahan Eropa). Di kota ini terdapat 900 kamar mandi umum, 283.000 rumah tinggal, 80.000 buah gedung, dan 600 buah masjid, dengan luasnya 8 fasakh (30.000 yard atau lebih kurang 27 km). Semua penduduknya terpelajar. Di belahan Timur kota itu saja terdapat 170 orang wanita yang berprofesi sebagai penulis kitab suci al-Qur’an dengan huruf kufi yang indah. Ada 80 buah sekolah tempat anak-anak fakir miskin belajar secara gratis, dan tersedia 50 buah rumah sakit. Masjid Cordova dari dulu hingga sekarang terkenal dengan seni arsitekturnya yang sangat indah. Menara (tempat adzan) berketinggian 40 yard dengan kubahnya yang terdiri di atas tiang kayu berukir. Tiang-tiangnya yang berjumlah 1093 buah itu terdapat dari batu marmer yang berwarna-warni seperti warna papan catur, dan dari tiang-tiang itu tersusun 19 bumbungan arah memanjang dan 38 bumbungan arah melebar. Di malam hari, masjid ini diterangi oleh 4700 buah lampu yang menghabiskan 24.000 pon (lebih kurang 11 ton) minyak per tahun. Di bagian Selatan terdapat 19 buah pintu masing-masing bercelupkan dan bertatahkan perunggu yang sangat bagus, kecuali pintu tengah bertatahkan emas. Di bagian Timur dan Barat juga terdapat 19 buah pintu sejenis itu. Adapun mihrabnya cukuplah dilukiskan dengan kata-kata oleh seorang sejarawan Barat: “Mihrab itu merupakan yang terindah bagi semua mata manusia. Saya tidak pernah melihat hiasan seindah itu, baik dari peninggalan-peninggalan zaman kuno maupun zaman modern”.
Cordova juga dihiasi pula istana az-Zahra’ yang indah dan abadi dalam sejarah. Hal ini perah diungkapkan oleh seorang ahli sejarah berkebangsaan Turki, Zia Pasha, sebagai mu’jizat zaman yang belum pernah tergambar dalam benak pembangunan yang manapun sejak dunia ini ada, dan belum pernah terbetik dalam akal segala insinyur sejak akal itu diciptakan.
2. Granada
Granada adalah tempat pertahanan terakhir ummat Islam di Spanyol. Di sana berkumpul sisa-sisa kekuatan Arab dan pemikir Islam. Posisi Cordova diambil alih oleh Granada di masa-masa akhir kekuasaan Islam di Spanyol. Arsitektur-arsitektur bangunannya terkenal di seluruh Eropa.
Kota Granada yang terkenal dengan istana al-Hamra. Dari dulu hingga sekarang setiap orang yang mengunjunginya pastilah kagum. Terletak di dataran tinggi di bilangan pegunungan Granada pada suatu padang yang sangat luas dan subur, sehingga nampak sebagai istana yang terindah di dunia. Istana al-Hamra mempunyai ruangan-ruangan besar. Ada yang disebut ruangan hitam (karena terdiri dari marmer berwarna hitam), ada ruangan dua sejoli, yang satunya berwarna putih dan yang lainnya berwarna hitam, ada ruangan pengadilan, dan ruangan untuk menerima tamu dan duta-duta asing.
3. Isabella
Di kota ini terdapat 6000 orang tukang tenun kain sutra, di segenap penjuru dikelilingi pohon zaitun, oleh sebab mana terdapat 100.000 tempat produksi minyak zaitun.
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa Spanyol Islam merupakan negeri yang sudah maju. Di setiap kota dikenal dengan bermacam-macam hasil produksinya yang menjadi konsumsi bagi dunia Eropa. Andalusia dikenal dengan industri baju besi, topi baja, senjata dan besi baja dipasarkan di seluruh negeri di dunia Eropa.
C. Faktor-faktor Pendukung Kemajuan
Spanyol Islam, kemajuannya sangat ditentukan oleh adanya penguasa-penguasa yang kuat dan berwibawa, yang mampu mempersatukan kekuatan-kekuatan umat Islam, seperti Abdurrahman al-Dakhil, Abdurrahman al-Wasith dan Abdurrahman al-Nashir.
Keberhasilan politik pemimpin-pemimpin tersebut ditunjang oleh kebijaksanaan penguasa-penguasa lainnya yang memelopori kegiatan-kegiatan ilmiah yang terpenting diantara penguasa dinasti Umayyah di Spanyol dalam hal ini adalah Muhammad ibn Abdurrahman (852-886) dan al-Hakam II al-Muntashir (961-976).
Toleransi beragama ditegakkan oleh para penguasa terhadap penganut agama Kristen dan Yahudi, sehingga mereka ikut berpartisipasi mewujudkan peradaban Arab Islam di Spanyol. Untuk orang-orang Kristen, sebagaimana juga orang-orang Yahudi, disediakan hakim khusus yang menangani masalah sesuai dengan ajaran agama mereka masing-masing.
Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk, terdiri dari berbagai komunitas, baik agama maupun bangsa. Dengan ditegakkannya toleransi beragama, komunitas-komunitas itu dapat bekerja sama dan menyumbangkan kelebihannya masing-masing.
Meskipun ada persaingan yang sengit antara Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah di Spanyol, hubungan budaya dari Timur dan Barat tidak selalu berupa peperangan. Sejak abad ke-11 M dan seterusnya, banyak sarjana mengadakan perjalanan dari ujung barat wilayah Islam ke ujung timur, sambil membawa buku-buku dan gagasan-gagasan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun umat Islam terpecah dalam beberapa kesatuan politik, terdapat apa yang disebut kesatuan budaya dunia Islam.
Perpecahan politik pada masa Muluk al-Thawa'if dan sesudahnya tidak menyebabkan mundurnya peradaban. Masa itu, bahkan merupakan puncak kemajuan ilmu pengetahuan, kesenian, dan kebudayaan Spanyol Islam. Setiap dinasti (raja) di Malaga, Toledo, Sevilla, Granada, dan lain-lain berusaha menyaingi Cordova. Kalau sebelumnya Cordova merupakan satu-satunya pusat ilmu dan peradaban Islam di Spanyol, Muluk al-Thawa'if berhasil mendirikan pusat-pusat peradaban baru yang diantaranya justru lebih maju.
D. Pengaruh Peradaban Islam di Eropa
Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa dalam menyerap peradaban Islam, baik dalam hubungan politik, sosial, maupun perekonomian dan peradaban antar negara.
Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat ini banyak berhutang budi kepada khazanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang di periode klasik. Memang banyak saluran bagaimana peradaban Islam mempengaruhi Eropa, seperti Sicilia dan Perang Salib, tetapi saluran yang terpenting adalah Spanyol Islam.
Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa menyerap peradaban Islam, baik dalam bentuk hubungan politik, sosial, maupun perekonomian dan peradaban antar negara. Orang-orang Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol berada di bawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangganya Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains di samping bangunan fisik. Yang terpenting di antara adalah pemikiran Ibn Rusyd (1120-1198 M). Ia melepaskan belenggu taklid dna menganjurkan kebebasan berfikir. Ia mengulas pemikiran Aristoteles dengan cara yang memikat minat semua orang yang berpikiran bebas. Ia mengedepankan sunatullah menurut pengertian Islam terhadap pantheisme dan anthropomorphisme Kristen. Demikian besar pengaruhnya di Eropa, hingga di Eropa timbul gerakan Averroeisme (Ibn Rusydisme) yang menuntut kebebasan berpikir. Pihak gereja menolak pemikiran rasional yang dibawa gerakan Averoeisme ini.
Berawal dari gerakan Averroeisme inilah di Eropa kemudian lahir reformasi pada abad ke-16 M dan rasionalisme pada abad ke-17 M. Buku-buku Ibn Rusyd dicetak di Venesia tahun 1481, 1483, 1489, dan 1500 M. Bahkan edisi lengkapnya terbit pada tahun 1553 dan 1557 M. Karya-karyanya juga diterbitkan pada abad ke-16 M di Napoli, Bologna, Lyonms, dan Strasbourg, dan di awal abad ke-17 M di Jenewa.
Pengaruh peradaban Islam, termasuk di dalamnya pemikiran Ibn Rusyd, ke Eropa berawal dari banyaknya pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar di universitas-universitas Islam di Spanyol, seperti universitas Cordova, Seville, Malaga, Granada, dan Salamanca. Selama belajar di Spanyol, mereka aktif menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan muslim.
Pusat penerjemahan itu adalah Toledo. Setelah pulang ke negerinya, mereka mendirikan sekolah dan universitas yang sama. Universitas di Eropa adalah universitas Paris yang didirikan pada tahun 1231 M, tiga puluh tahun setelah wafatnya Ibn Rusyd. Di akhir zaman pertengahan Eropa, baru berdiri 18 buah universitas. Di dalam universitas-universitas itu, ilmu yang mereka peroleh dari universitas-universitas Islam diajarkan, seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti, dan filsafat. Pemikiran filsafat yang paling banyak dipelajari adalah pemikiran al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd.
Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah berlangsung sejak abad ke-12 M itu menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (renaisance) pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-14 M. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini adalah melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa latin.
Walaupun Islam akhirnya terusir dari negeri Spanyol dengan cara yang sangat kejam, tetapi ia telah membidani gerakan-gerakan penting di Eropa. Gerakan-gerakan itu adalah: kebangkitan kembali kebudayaan Yunani klasik (renaisance) pada abad ke-14 M yang bermula di Italia, gerakan reformasi pada abad ke-16 M, rasionalisme pada abad ke-17 M, dan pencerahan (aufklaerung) pada abad ke-18 M.
KESIMPULAN
1. Islam mencapai kejayaan di Spanyol pada periode ketiga.
2. Banyak sekali kemajuan intelektual pada masa kejayaan ini, antara lain pada bidang filsafat, sains, fiqih, musik dan kesenian serta bahasa dan sastra.
3. Banyak sekali pembangunan fisik di Spanyol. Tapi di antaranya yang menonjol adalah pembangunan kota, istana, masjid dan taman-taman.
4. Contoh pembangunan kota seperti di Cordova dan Granada.
5. Faktor pendukung kemajuan ditentukan oleh penguasa-penguasa yang kuat dan faktor-faktor lain.
6. Banyak pengaruh yang diberikan Spanyol kepada Eropa, mengingat Spanyol merupakan tempat yang paling utama di Eropa dalam menyerap peradaban Islam.
DAFTAR PUSTAKA
As-Siba’i, Musthafa, Kebangkitan Kebudayaan Islam, Jakarta: Media Dakwah, 1986.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000
Spanyol mencapai masa keemasan pada periode ketiga, yaitu antara tahun 912-1013 M. Prestasi-prestasi yang mereka peroleh sangatlah banyak, hingga pengaruhnya sampai ke tanah Eropa hingga dunia, menuju pada kemajuan yang sangat kompleks, terutama kontribusinya pada dunia intelektual. Tak kalah pentingnya juga dalam pembangunan-pembangunan fisik yang sangat megah. Kemajuan intelektualnya terdiri dari hal filsafat, sains, fiqih, musik dan kesenian, bahasa dan sastra, kemegahan pembangunan fisik diantaranya Cordoba dan Granada. Hal ini tak luput dengan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi Islam di Spanyol mengalami masa keemasan.
Pengaruh peradaban Islam di Spanyol diantaranya membawa kemajuan Eropa yang terus berkembang dan sampai saat ini mereka berhutang budi pada khazanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang pada periode klasik.
A. Kejayaan Umat Islam di Spanyol dan Kemajuan Intelektual
Kesuburan negeri Spanyol mendatangkan hasil perekonomian yang tinggi, dan akhirnya melahirkan banyak pemikir. Masyarakat Islam Spanyol mendatangkan masyarakat yang majemuk yang terdiri atas komunitas Arab, bagian utara maupun selatan. Al-Muwalladun yaitu orang-orang Spanyol yang masuk Islam, Barbar yaitu orang Islam yang berasal dari Afrika Utara, al-Shaqalibah yaitu penduduk daerah antara Konstantinopel dan Bulgaria yang menjadi tawanan Jerman dan dijual kepada penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran, Yahudi, Kristen Muzareb yang berbudaya Arab, dan Kristen yang masih menentang Islam. Kecuali komunitas yang terakhir, memberikan saham intelektual yang melahirkan Kebangkitan Ilmiah, sastra, dan kemegahan pembangunan fisik di Spanyol.
1. Filsafat
Islam di Spanyol telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat brilian dalam bentangan sejarah Islam. Ia berperan sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad ke-12. Minat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke-9 M selama pemerintahan penguasa Bani Umayyah yang ke-5, Muhammad ibn Abdurrahman (832-886 M).
Atas inisiatif al-Hakam (961-976 M), karya-karya ilmiah dan filosofis diimpor dari Timur dalam jumlah besar, sehingga Cordova dengan perpustakaan dan universitas-universitasnya mampu menyaingi Baghdad sebagai pusat utama ilmu pengetahuan di dunia Islam. Apa yang dilakukan oleh para pemimpin dinasti Bani Umayyah di Spanyol ini merupakan persiapan untuk melahirkan filosof-filosof besar pada masa sesudahnya.
Tokoh utama pertama dalam sejarah filsafat Arab-Spanyol adalah Abu Bakr Muhammad ibn al-Sayigh yang lebih dikenal dengan Ibn Bajjah. Dilahirkan di Saragosa, ia pindah ke Sevilla dan Granada. Meninggal karena keracunan di Fez tahun 1138 M dalam usia yang masih muda. Seperti al-Farabi dan Ibn Sina di Timur, masalah yang dikemukakannya bersifat etis dan eskatologis. Magnum opusnya adalah Tadbir al-Mutawahhid.
Tokoh utama kedua adalah Abu Bakr ibn Thufail, penduduk asli Wadi Asy, sebuah dusun kecil di sebelah timur Granada dan wafat pada usia lanjut tahun 1185 M. Ia banyak menulis masalah kedokteran, astronomi dan filsafat. Karya filsafatnya yang sangat terkenal adalah Hay ibn Yaqzhan.
Bagian akhir abad ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang terbesar di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Ibn Rusyd dari Cordova. Ia lahir tahun 1126 M dan meninggal tahun 1198 M. Ciri khasnya adalah kecermatan dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam menggeluti masalah-masalah menahun tentang keserasian filsafat dan agama. Dia juga ahli fiqh dengan karyanya Bidayah al-Mujtahid.
2. Sains
Ilmu-ilmu kedokteran, musik, matematika, astronomi, kimia dan lain-lain juga berkembang dengan baik. Abbas ibn Famas termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi. Ialah orang pertama yang menemukan pembuatan kaca dari batu. Ibrahim ibn Yahya al-Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. Ia dapat menentukan waktu terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. Ia juga berhasil membuat teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ahmad ibn Ibas dari Cordova adalah ahli dalam bidang obat-obatan. Umm al-Hasan bint Abi Ja'far dan saudara perempuan al-Hafidz adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita.
Dalam bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam bagian barat melahirkan banyak pemikir terkenal, Ibn Jubair dari Valencia (1145-1228 M) menulis tentang negeri-negeri muslim Mediterania dan Sicilia dan Ibn Batuthah dari Tangier (1304-1377 M) mencapai Samudera Pasai dan Cina. Ibn al-Khatib (1317-1374 M) menyusun riwayat Granada, sedangkan Ibn Khaldun dari Tunis adalah perumus filsafat sejarah. Semua sejarawan di atas bertempat tinggal di Spanyol, yang kemudian pindah ke Afrika. Itulah sebagian nama-nama besar dalam bidang sains.
3. Fiqh
Dalam bidang fiqh, Spanyol Islam dikenal sebagai penganut mazhab Maliki. Yang memperkenalkan mazhab ini di sana adalah Ziad ibn Abdurrahman. Perkembangan selanjutnya ditentukan oleh Ibn Yahya yang menjadi Qadhi pada masa Hisyam Ibn Abdurrahman. Ahli-ahli Fiqh lainnya diantaranya adalah Abu Bakr ibn al-Quthiyah, Munzir Ibn Sa'id al-Baluthi dan Ibn Hazm yang terkenal.
4. Musik dan Kesenian
Dalam bidang musik dan suara, Spanyol Islam mencapai kecemerlangan dengan tokohnya al-Hasan Ibn Nafi yang dijiluki Zaryab. Setiap kali diselenggarkan pertemuan dan jamuan, Zaryab selalu tampil mempertunjukkan kebolehannya. Ia juga terkenal sebagai penggubah lagu. Ilmu yang dimiliknya itu diturunkan kepada anak-anaknya baik pria maupun wanita, dan juga kepada budak-budak, sehingga kemasyhurannya tersebar luas.
5. Bahasa dan Sastra
Bahasa Arab telah menjadi bahasa administrasi dalam pemerintahan Islam di Spanyol. Hal itu dapat diterima oleh orang-orang Islam dan non-Islam. Bahkan, penduduk asli Spanyol menomorduakan bahasa asli mereka. Mereka juga banyak yang ahli dan mahir dalam bahasa Arab, baik keterampilan berbicara maupun tata bahasa. Mereka itu antara lain: Ibn Sayyidih, Ibn Malik pengarang Aljiyah, Ibn Khuruf, Ibn al-Hajj, Abu Ali al-Isybili, Abu al-Hasan Ibn Usfur, dan Abu Hayyan al-Ghamathi. Seiring dengan kemajuan bahasa itu, karya-karya sastra bermunculan, seperti Al-'Iqd al-Farid karya Ibn Abd Rabbih, al-Dzakhirahji Mahasin Ahl al-Jazirah oleh Ibn Bassam, Kitab al-Qalaid buah karya al-Fath ibn Khaqan, dan banyak lagi yang lain.
B. Kemegahan Pembangunan Fisik
Aspek-aspek pembangunan fisik yang mendapat perhatian ummat Islam sangat banyak. Dalam perdagangan, jalan-jalan dan pasar-pasar dibangun. Bidang pertanian demikian juga. Sistem irigasi baru diperkenalkan kepada masyarakat Spanyol yang tidak mengenal sebelumnya. Dam-dam, kanal-kanal, saluran sekunder, tersier, dan jembatan-jembatan air didirikan. Tempat-tempat yang tinggi, dengan begitu, juga mendapat jatah air.
Orang-orang Arab memperkenalkan pengaturan hidrolik untuk tujuan irigasi. Kalau dam digunakan untuk mengecek curah air, waduk (kolam) dibuat untuk konservasi (penyimpanan air). Pengaturan hydrolik itu dibangun dengan memperkenalkan roda air (water wheel) asal Persia yang dinamakan naurah (Spanyol: Noria). Disamping itu, orang-orang Islam juga memperkenalkan pertanian padi, perkebunan jeruk, kebun-kebun dan taman-taman.
Industri, disamping pertanian dan perdagangan, juga merupakan tulang punggung ekonomi Spanyol Islam. Diantaranya adalah tekstil, kayu, kulit, logam, dan industri barang-barang tembikar.
Namun demikian, pembangunan-pembangunan fisik yang paling menonjol adalah pembangunan gedung-gedung, seperti pembangunan kota, istana, masjid, pemukiman, dan taman-taman. Diantara pembangunan yang megah adalah masjid Cordova, kota al-Zahra, Istana Ja'fariyah di Saragosa, tembok Toledo, istana al-Makmun, masjid Seville, dan istana al-Hamra di Granada.
1. Cordova
Cordova adalah ibu kota Spanyol sebelum Islam, yang kemudian diambil alih oleh Bani Umayyah. Oleh penguasa muslim, kota ini dibangun dan diperindah.
Cordova, di zaman pemerintahan Abdur Rahman III (khalifah ketiga Kerajaan Umayyah di Barat), adalah ibukota Andalusia. Di malam hari, kota ini diterangi dengan lampu-lampu terang untuk memudahkan orang-orang berjalan malam. Bukan hanya di dalam kota, tetapi juga jalan di luar kota diterangi dengan lampu sejauh 16 kilometer. Lorong-lorong sudah dikeraskan dengan koral, jalanan dibebaskan dari sampah dan kekotoran, terdapat pula taman-taman yang indah di mana para pendatang dapat santai beristirahat sebelum kembali ke rumahnya. Berpenduduk lebih dari satu juta jiwa (empat kali lebih banyak daripada penduduk kota terbesar di belahan Eropa). Di kota ini terdapat 900 kamar mandi umum, 283.000 rumah tinggal, 80.000 buah gedung, dan 600 buah masjid, dengan luasnya 8 fasakh (30.000 yard atau lebih kurang 27 km). Semua penduduknya terpelajar. Di belahan Timur kota itu saja terdapat 170 orang wanita yang berprofesi sebagai penulis kitab suci al-Qur’an dengan huruf kufi yang indah. Ada 80 buah sekolah tempat anak-anak fakir miskin belajar secara gratis, dan tersedia 50 buah rumah sakit. Masjid Cordova dari dulu hingga sekarang terkenal dengan seni arsitekturnya yang sangat indah. Menara (tempat adzan) berketinggian 40 yard dengan kubahnya yang terdiri di atas tiang kayu berukir. Tiang-tiangnya yang berjumlah 1093 buah itu terdapat dari batu marmer yang berwarna-warni seperti warna papan catur, dan dari tiang-tiang itu tersusun 19 bumbungan arah memanjang dan 38 bumbungan arah melebar. Di malam hari, masjid ini diterangi oleh 4700 buah lampu yang menghabiskan 24.000 pon (lebih kurang 11 ton) minyak per tahun. Di bagian Selatan terdapat 19 buah pintu masing-masing bercelupkan dan bertatahkan perunggu yang sangat bagus, kecuali pintu tengah bertatahkan emas. Di bagian Timur dan Barat juga terdapat 19 buah pintu sejenis itu. Adapun mihrabnya cukuplah dilukiskan dengan kata-kata oleh seorang sejarawan Barat: “Mihrab itu merupakan yang terindah bagi semua mata manusia. Saya tidak pernah melihat hiasan seindah itu, baik dari peninggalan-peninggalan zaman kuno maupun zaman modern”.
Cordova juga dihiasi pula istana az-Zahra’ yang indah dan abadi dalam sejarah. Hal ini perah diungkapkan oleh seorang ahli sejarah berkebangsaan Turki, Zia Pasha, sebagai mu’jizat zaman yang belum pernah tergambar dalam benak pembangunan yang manapun sejak dunia ini ada, dan belum pernah terbetik dalam akal segala insinyur sejak akal itu diciptakan.
2. Granada
Granada adalah tempat pertahanan terakhir ummat Islam di Spanyol. Di sana berkumpul sisa-sisa kekuatan Arab dan pemikir Islam. Posisi Cordova diambil alih oleh Granada di masa-masa akhir kekuasaan Islam di Spanyol. Arsitektur-arsitektur bangunannya terkenal di seluruh Eropa.
Kota Granada yang terkenal dengan istana al-Hamra. Dari dulu hingga sekarang setiap orang yang mengunjunginya pastilah kagum. Terletak di dataran tinggi di bilangan pegunungan Granada pada suatu padang yang sangat luas dan subur, sehingga nampak sebagai istana yang terindah di dunia. Istana al-Hamra mempunyai ruangan-ruangan besar. Ada yang disebut ruangan hitam (karena terdiri dari marmer berwarna hitam), ada ruangan dua sejoli, yang satunya berwarna putih dan yang lainnya berwarna hitam, ada ruangan pengadilan, dan ruangan untuk menerima tamu dan duta-duta asing.
3. Isabella
Di kota ini terdapat 6000 orang tukang tenun kain sutra, di segenap penjuru dikelilingi pohon zaitun, oleh sebab mana terdapat 100.000 tempat produksi minyak zaitun.
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa Spanyol Islam merupakan negeri yang sudah maju. Di setiap kota dikenal dengan bermacam-macam hasil produksinya yang menjadi konsumsi bagi dunia Eropa. Andalusia dikenal dengan industri baju besi, topi baja, senjata dan besi baja dipasarkan di seluruh negeri di dunia Eropa.
C. Faktor-faktor Pendukung Kemajuan
Spanyol Islam, kemajuannya sangat ditentukan oleh adanya penguasa-penguasa yang kuat dan berwibawa, yang mampu mempersatukan kekuatan-kekuatan umat Islam, seperti Abdurrahman al-Dakhil, Abdurrahman al-Wasith dan Abdurrahman al-Nashir.
Keberhasilan politik pemimpin-pemimpin tersebut ditunjang oleh kebijaksanaan penguasa-penguasa lainnya yang memelopori kegiatan-kegiatan ilmiah yang terpenting diantara penguasa dinasti Umayyah di Spanyol dalam hal ini adalah Muhammad ibn Abdurrahman (852-886) dan al-Hakam II al-Muntashir (961-976).
Toleransi beragama ditegakkan oleh para penguasa terhadap penganut agama Kristen dan Yahudi, sehingga mereka ikut berpartisipasi mewujudkan peradaban Arab Islam di Spanyol. Untuk orang-orang Kristen, sebagaimana juga orang-orang Yahudi, disediakan hakim khusus yang menangani masalah sesuai dengan ajaran agama mereka masing-masing.
Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk, terdiri dari berbagai komunitas, baik agama maupun bangsa. Dengan ditegakkannya toleransi beragama, komunitas-komunitas itu dapat bekerja sama dan menyumbangkan kelebihannya masing-masing.
Meskipun ada persaingan yang sengit antara Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah di Spanyol, hubungan budaya dari Timur dan Barat tidak selalu berupa peperangan. Sejak abad ke-11 M dan seterusnya, banyak sarjana mengadakan perjalanan dari ujung barat wilayah Islam ke ujung timur, sambil membawa buku-buku dan gagasan-gagasan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun umat Islam terpecah dalam beberapa kesatuan politik, terdapat apa yang disebut kesatuan budaya dunia Islam.
Perpecahan politik pada masa Muluk al-Thawa'if dan sesudahnya tidak menyebabkan mundurnya peradaban. Masa itu, bahkan merupakan puncak kemajuan ilmu pengetahuan, kesenian, dan kebudayaan Spanyol Islam. Setiap dinasti (raja) di Malaga, Toledo, Sevilla, Granada, dan lain-lain berusaha menyaingi Cordova. Kalau sebelumnya Cordova merupakan satu-satunya pusat ilmu dan peradaban Islam di Spanyol, Muluk al-Thawa'if berhasil mendirikan pusat-pusat peradaban baru yang diantaranya justru lebih maju.
D. Pengaruh Peradaban Islam di Eropa
Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa dalam menyerap peradaban Islam, baik dalam hubungan politik, sosial, maupun perekonomian dan peradaban antar negara.
Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat ini banyak berhutang budi kepada khazanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang di periode klasik. Memang banyak saluran bagaimana peradaban Islam mempengaruhi Eropa, seperti Sicilia dan Perang Salib, tetapi saluran yang terpenting adalah Spanyol Islam.
Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa menyerap peradaban Islam, baik dalam bentuk hubungan politik, sosial, maupun perekonomian dan peradaban antar negara. Orang-orang Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol berada di bawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangganya Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains di samping bangunan fisik. Yang terpenting di antara adalah pemikiran Ibn Rusyd (1120-1198 M). Ia melepaskan belenggu taklid dna menganjurkan kebebasan berfikir. Ia mengulas pemikiran Aristoteles dengan cara yang memikat minat semua orang yang berpikiran bebas. Ia mengedepankan sunatullah menurut pengertian Islam terhadap pantheisme dan anthropomorphisme Kristen. Demikian besar pengaruhnya di Eropa, hingga di Eropa timbul gerakan Averroeisme (Ibn Rusydisme) yang menuntut kebebasan berpikir. Pihak gereja menolak pemikiran rasional yang dibawa gerakan Averoeisme ini.
Berawal dari gerakan Averroeisme inilah di Eropa kemudian lahir reformasi pada abad ke-16 M dan rasionalisme pada abad ke-17 M. Buku-buku Ibn Rusyd dicetak di Venesia tahun 1481, 1483, 1489, dan 1500 M. Bahkan edisi lengkapnya terbit pada tahun 1553 dan 1557 M. Karya-karyanya juga diterbitkan pada abad ke-16 M di Napoli, Bologna, Lyonms, dan Strasbourg, dan di awal abad ke-17 M di Jenewa.
Pengaruh peradaban Islam, termasuk di dalamnya pemikiran Ibn Rusyd, ke Eropa berawal dari banyaknya pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar di universitas-universitas Islam di Spanyol, seperti universitas Cordova, Seville, Malaga, Granada, dan Salamanca. Selama belajar di Spanyol, mereka aktif menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan muslim.
Pusat penerjemahan itu adalah Toledo. Setelah pulang ke negerinya, mereka mendirikan sekolah dan universitas yang sama. Universitas di Eropa adalah universitas Paris yang didirikan pada tahun 1231 M, tiga puluh tahun setelah wafatnya Ibn Rusyd. Di akhir zaman pertengahan Eropa, baru berdiri 18 buah universitas. Di dalam universitas-universitas itu, ilmu yang mereka peroleh dari universitas-universitas Islam diajarkan, seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti, dan filsafat. Pemikiran filsafat yang paling banyak dipelajari adalah pemikiran al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd.
Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah berlangsung sejak abad ke-12 M itu menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (renaisance) pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-14 M. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini adalah melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa latin.
Walaupun Islam akhirnya terusir dari negeri Spanyol dengan cara yang sangat kejam, tetapi ia telah membidani gerakan-gerakan penting di Eropa. Gerakan-gerakan itu adalah: kebangkitan kembali kebudayaan Yunani klasik (renaisance) pada abad ke-14 M yang bermula di Italia, gerakan reformasi pada abad ke-16 M, rasionalisme pada abad ke-17 M, dan pencerahan (aufklaerung) pada abad ke-18 M.
KESIMPULAN
1. Islam mencapai kejayaan di Spanyol pada periode ketiga.
2. Banyak sekali kemajuan intelektual pada masa kejayaan ini, antara lain pada bidang filsafat, sains, fiqih, musik dan kesenian serta bahasa dan sastra.
3. Banyak sekali pembangunan fisik di Spanyol. Tapi di antaranya yang menonjol adalah pembangunan kota, istana, masjid dan taman-taman.
4. Contoh pembangunan kota seperti di Cordova dan Granada.
5. Faktor pendukung kemajuan ditentukan oleh penguasa-penguasa yang kuat dan faktor-faktor lain.
6. Banyak pengaruh yang diberikan Spanyol kepada Eropa, mengingat Spanyol merupakan tempat yang paling utama di Eropa dalam menyerap peradaban Islam.
DAFTAR PUSTAKA
As-Siba’i, Musthafa, Kebangkitan Kebudayaan Islam, Jakarta: Media Dakwah, 1986.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000
KEKUASAAN TUHAN DAN PERBUATAN MANUSIA
PENDAHULUAN
Tulisan ini bermaksud mengutarakan beberapa pemikiran kalam an-Nawawi al-Bantani, yang merupakan salah seorang pengikut al-Asy’ari.
Mempunyai banyak karya tulis dan tersebar luas di pondok pesantren, khususnya di Nusantara ini. Oleh karena itu, ia termasuk salah seorang yang memiliki andil besar tersebarnya paham Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah di seantero Nusantara ini dan bahkan di negeri Islam lainnya, lantaran ia bermukim dan menjadi ulama besar di Makkah dengan murid-murid internasionalnya, serta karya tulis berbahasa Arab.
II. BIOGRAFI
Nawawi al-Bantani lahir tahun 1230 H/1813 M di Banten Jawa Barat, wafat tahun 1314 H/1897 M di Makkah, dimakamkan di Ma’la sebelah makam Khadijah, umm al-mu’minin, istri Nabi saw. Setiap tahunnya, pada hari Kamis minggu terakhir bulan Syawwal diadakan upacara khaul di daerahnya, Tanara Banten.[1] Ayahnya bernama ‘Umar ibn ‘Arabi, pernah menjabat Penghulu Kecamatan Tanara, Banten, dan mengajar putra-putranya, Nawawi, Tamim dan Ahmad. Tiga putranya ini, kemudian belajar kepada Haji Sahal, seorang ‘ulama masyhur di Banten saat itu. Kemudian melanjutkan di Purwakarta, Karawang, belajar kepada Raden Haji Yusuf yang mempunyai banyak murid dari seluruh Jawa, khususnya dari Jawa Tengah. Kemudian tiga bersaudara ini pada usia yang masih agak muda menunaikan ibadah haji, usia 15 tahun. Nawawi bermukim di Makkah tiga tahun dan pulang tahun 1833 membawa ilmu pengetahuan yang banyak, namun berencana untuk menetap di Makkah. Setelah itu, tahun 1855 ia bermukim dan menuntut ilmu di Makkah selama tiga puluh tahun.[2]
Guru-guru Nawawi di Makkah, seperti Khatib Sambas, ‘Abd al-Ghani Bima, Yusuf Sumulaweni, Nahrawi, dan ‘Abd al-Hamid ad-Daghastani. Dari para guru-gurunya inilah, Nawawi menjadi seorang ulama besar, pengajar di Tanah Suci, dan sekitar 20 karya tulis di berbagai bidang agama Islam berbahasa Arab keluar daripadanya. Bahkan ada yang menyebut, keistimewaan ‘ulama ini terletak lebih di bidang penanya daripada lidahnya.[3] Karya tulisnya antara lain :
1. Syarh Ajurumiyyah (Nahwu), tahun 1881.
2. Dhari’at al-Yaqin (1886), syarh terhadap karya as-Sanusi (‘aqidah).
3. Fath al-Majid (1881), syarh terhadap ad-Durr al-Farid karya an-Nahrawi.
4. Suluk al-Jadab (1883), dan Sulam al-Munajah (1884), keduanya masalah ibadah.
5. Bidayat al-Hidayat (1881), syarh terhadap karya al-Ghazali (tasawuf)
6. Tafsir Marah Labib, terbit di Makkah tahun 1880-an.[4]
III. PERBUATAN MANUSIA
Masalah perbuatan manusia, Nawawi menyatakan bahwa kemauan dan perbuatan manusia pada hakekatnya diciptakan oleh Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan yang diciptakan Tuhan, yang terkenal dengan teori kasb. Yakni berbarengnya kekuasaan baru (manusia) merupakan perbuatan ikhtiyariyyah yang diperoleh tidak mempunyai efek dalam kekuasaannya.[5] Dari sini tampak bahwa, perbuatan ikhtiyariyah yang diperoleh (al-maksubah) tidak mempunyai efek sama sekali, lantaran perbuatan pada hakekatnya diciptakan Tuhan. Penggunaan istilah ikhtiyariyah, bagi Nawawi hanyalah ditinjau dari segi lahiriyah saja, bukan hakiki. Sebab secara hakiki disandarkan kepada Tuhan. Dengan unsur ikhtiyariyah yang biasanya menjadi sebab terciptanya sesuatu perbuatan dan adanya kekuasaan (qudrah), maka wajar jika manusia mendapatkan pahala atau siksa. Jadi secara lahiriyah manusia mempunyai peluang berikhtiyar, namun secara hakiki terpaksa.[6]
Dengan demikian, Nawawi, seperti umumnya kaum Asy’ariyah, dalam hal perbuatan manusia terjebak pada paham Jabariyah, sebagaimana dinyatakan : majburun fi suratin mukhtarin.[7]
Nawawi, membagi perbuatan manusia menjadi dua macam, yaitu perbuatan yang hasil ikhtiyar, seperti memukul, ini diperoleh manusia (muktasab). Dan perbuatan terpaksa (iztirariyah), seperti menggigil, diciptakan Tuhan, bukan perolehan (muktasab).[8] Penggunaan teori kasb ini, dalam rangka mempertahankan tidak adanya “al-kam al-munfasil fi al-af’al”,[9] untuk mensucikan perbuatan Tuhan, sesuai dengan firman Tuhan surat as-Saffat ayat 96: “wa Allah khalaqakum wa ma ta‘malun”, dan ayat lain yang searti, dan pendapat semacam inilah yang dianggapnya selamat.[10]
IV. KEKUASAAN TUHAN
Nawawi, sebagai pengikut al-Asy’ari, menyatakan bahwa kekuasaan Tuhan adalah mutlak dan tidak ada yang menandingi-Nya. Tidak ada suatu benda pun yang memiliki kekuatan dan efek terhadap lainnya, seperti makan tidak menyebabkan kenyang. Jika dikatakan bahwa makan dapat menyebabkan kenyang, karena Tuhan memberikan kekuatan atau sifat mengenyangkan, berarti Tuhan membutuhkan selain-Nya sebagai perantara terwujudnya kenyang itu. Orang yang menyatakan demikian dianggap fasiq dan bid‘ah,[11] termasuk kelompok Mu’tazilah.[12] Jika dikatakan bahwa, benda atau sesuatu itu menyebabkan timbulnya kekuatan tertentu, maka yang menyatakan demikian disebutnya kafir secara ijma’.[13] Menurutnya, yang paling selamat adalah menyatakan : “Bahwa kekuatan tertentu benda-benda itu hanyalah merupakan sebab yang telah biasa terjadi”.[14]
Menurutnya, kehendak Tuhan itu mutlak, menghendaki yang baik maupun yang jelek, namun tidak memerintah dan tidak meridai yang jelek itu. Tuhan menghendaki imannya Abu Bakar dan memerintahkannya, seperti juga menghendaki kekufuran Abu Jahal tanpa memerintah dan meridai atas kekufurannya itu.[15] Hal ini, sama dengan pendapat al-Bazdawi (Maturidiyah Bukhara), bahwa kekuasaan Tuhan ada dua macam, yaitu yang diridai dan yang tidak diridai. Artinya manusia melakukan perbuatan –baik atau jelek– atas kehendak Tuhan, tetapi tidak selamanya diridai, Tuhan tidak suka perbuatan jahat.[16] Di sini terdapat inkonsistensi dengan pernyataannya, bahwa semua perbuatan manusia diciptakan Tuhan, sesuai dengan firman Tuhan surat as-Saffat ayat 96 tersebut di atas.
V. KEADILAN TUHAN
Keadilan Tuhan menurut Nawawi, bahwa keadilan Tuhan adalah sesuai dengan kehendak-Nya. Tuhan boleh berkehendak untuk apa saja, termasuk adil jika memasukkan orang mu’min ke neraka dan orang kafir ke surga. Sebab, bagi Tuhan tidak ada kewajiban yang mengikat-Nya, memasukkan orang beriman ke surga lantaran anugerah (fadl)-Nya, dan memasukkan orang kafir ke neraka lantaran keadilan-Nya. Adil berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya. Hal ini berbeda dengan konsep Mu’tazilah tentang adil, yaitu memberikan sesuatu kepada yang berhak menerimanya. Tuhan tidak dapat disebut zalim, sebab Dia pemilik segala sesuatu, Dia berhak melakukan apa saja.[17]
Pendapat Nawawi ini, sebagaimana kaum Asy’ariyah lainnya, terdapat persoalan yang rumit. Sebab, paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mengandung arti manusia tidak mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihan, sehingga tidak dapat disebut adil jika Tuhan menghukum orang yang melakukan perbuatan yang tidak dikehendakinya, atau karena terpaksa. Di sini Nawawi mencarikan jalan kelar, yaitu konsep iradah dan ar-rida seperti di atas. Maka menentang perintah dan keridaan-Nya, wajar jika mendapatkan pahala atau siksa, sehingga tidak dapat disebut zalim jika Tuhan menghukum orang yang berbuat jahat. Meskipun demikian, tetap saja terdapat kesulitan, yaitu pada hakekatnya kebebasan manusia untuk memilih yang diridai dan yang tidak diridai Tuhan tetap berdasarkan kasb (perolehan) yang diberikan kepada orang itu.
VI. KESIMPULAN
Dari uraian singkat di atas, maka dapat disampaikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemikiran seorang tokoh adalah merupakan hasil dialog dengan lingkungan sosial masyarakat sekitarnya, termasuk Nawawi al-Bantani. Dididik dan dibesarkan dalam lingkungan agamis, yang mengikuti paham Asy‘ariyah, baik ketika menuntut ilmu di Jawa maupun di Makkah.
2. Pemikiran kalamnya, mengikuti pemikiran al-Asy’ari. Meskipun dalam masalah tertentu, seperti kehendak dan rida mengikuti al-Bazdawi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bazdawi, Usul ad-Din, Kairo: ‘Isa al-Babi al-Halabi, 1963.
Mas’ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LKiS, 2004.
Muhammad Nawawi ibn ‘Umar al-Jawi, Fath al-Majid, Semarang: al-Alawiyah, t.th.
_________________, Syarh Tijan ad-Darari, Semarang: al-‘Alawiyah, t.th.
Steenbrink, Karel A., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mahkota, 1989.
PENDAHULUAN
Tulisan ini bermaksud mengutarakan beberapa pemikiran kalam an-Nawawi al-Bantani, yang merupakan salah seorang pengikut al-Asy’ari.
Mempunyai banyak karya tulis dan tersebar luas di pondok pesantren, khususnya di Nusantara ini. Oleh karena itu, ia termasuk salah seorang yang memiliki andil besar tersebarnya paham Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah di seantero Nusantara ini dan bahkan di negeri Islam lainnya, lantaran ia bermukim dan menjadi ulama besar di Makkah dengan murid-murid internasionalnya, serta karya tulis berbahasa Arab.
II. BIOGRAFI
Nawawi al-Bantani lahir tahun 1230 H/1813 M di Banten Jawa Barat, wafat tahun 1314 H/1897 M di Makkah, dimakamkan di Ma’la sebelah makam Khadijah, umm al-mu’minin, istri Nabi saw. Setiap tahunnya, pada hari Kamis minggu terakhir bulan Syawwal diadakan upacara khaul di daerahnya, Tanara Banten.[1] Ayahnya bernama ‘Umar ibn ‘Arabi, pernah menjabat Penghulu Kecamatan Tanara, Banten, dan mengajar putra-putranya, Nawawi, Tamim dan Ahmad. Tiga putranya ini, kemudian belajar kepada Haji Sahal, seorang ‘ulama masyhur di Banten saat itu. Kemudian melanjutkan di Purwakarta, Karawang, belajar kepada Raden Haji Yusuf yang mempunyai banyak murid dari seluruh Jawa, khususnya dari Jawa Tengah. Kemudian tiga bersaudara ini pada usia yang masih agak muda menunaikan ibadah haji, usia 15 tahun. Nawawi bermukim di Makkah tiga tahun dan pulang tahun 1833 membawa ilmu pengetahuan yang banyak, namun berencana untuk menetap di Makkah. Setelah itu, tahun 1855 ia bermukim dan menuntut ilmu di Makkah selama tiga puluh tahun.[2]
Guru-guru Nawawi di Makkah, seperti Khatib Sambas, ‘Abd al-Ghani Bima, Yusuf Sumulaweni, Nahrawi, dan ‘Abd al-Hamid ad-Daghastani. Dari para guru-gurunya inilah, Nawawi menjadi seorang ulama besar, pengajar di Tanah Suci, dan sekitar 20 karya tulis di berbagai bidang agama Islam berbahasa Arab keluar daripadanya. Bahkan ada yang menyebut, keistimewaan ‘ulama ini terletak lebih di bidang penanya daripada lidahnya.[3] Karya tulisnya antara lain :
1. Syarh Ajurumiyyah (Nahwu), tahun 1881.
2. Dhari’at al-Yaqin (1886), syarh terhadap karya as-Sanusi (‘aqidah).
3. Fath al-Majid (1881), syarh terhadap ad-Durr al-Farid karya an-Nahrawi.
4. Suluk al-Jadab (1883), dan Sulam al-Munajah (1884), keduanya masalah ibadah.
5. Bidayat al-Hidayat (1881), syarh terhadap karya al-Ghazali (tasawuf)
6. Tafsir Marah Labib, terbit di Makkah tahun 1880-an.[4]
III. PERBUATAN MANUSIA
Masalah perbuatan manusia, Nawawi menyatakan bahwa kemauan dan perbuatan manusia pada hakekatnya diciptakan oleh Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan yang diciptakan Tuhan, yang terkenal dengan teori kasb. Yakni berbarengnya kekuasaan baru (manusia) merupakan perbuatan ikhtiyariyyah yang diperoleh tidak mempunyai efek dalam kekuasaannya.[5] Dari sini tampak bahwa, perbuatan ikhtiyariyah yang diperoleh (al-maksubah) tidak mempunyai efek sama sekali, lantaran perbuatan pada hakekatnya diciptakan Tuhan. Penggunaan istilah ikhtiyariyah, bagi Nawawi hanyalah ditinjau dari segi lahiriyah saja, bukan hakiki. Sebab secara hakiki disandarkan kepada Tuhan. Dengan unsur ikhtiyariyah yang biasanya menjadi sebab terciptanya sesuatu perbuatan dan adanya kekuasaan (qudrah), maka wajar jika manusia mendapatkan pahala atau siksa. Jadi secara lahiriyah manusia mempunyai peluang berikhtiyar, namun secara hakiki terpaksa.[6]
Dengan demikian, Nawawi, seperti umumnya kaum Asy’ariyah, dalam hal perbuatan manusia terjebak pada paham Jabariyah, sebagaimana dinyatakan : majburun fi suratin mukhtarin.[7]
Nawawi, membagi perbuatan manusia menjadi dua macam, yaitu perbuatan yang hasil ikhtiyar, seperti memukul, ini diperoleh manusia (muktasab). Dan perbuatan terpaksa (iztirariyah), seperti menggigil, diciptakan Tuhan, bukan perolehan (muktasab).[8] Penggunaan teori kasb ini, dalam rangka mempertahankan tidak adanya “al-kam al-munfasil fi al-af’al”,[9] untuk mensucikan perbuatan Tuhan, sesuai dengan firman Tuhan surat as-Saffat ayat 96: “wa Allah khalaqakum wa ma ta‘malun”, dan ayat lain yang searti, dan pendapat semacam inilah yang dianggapnya selamat.[10]
IV. KEKUASAAN TUHAN
Nawawi, sebagai pengikut al-Asy’ari, menyatakan bahwa kekuasaan Tuhan adalah mutlak dan tidak ada yang menandingi-Nya. Tidak ada suatu benda pun yang memiliki kekuatan dan efek terhadap lainnya, seperti makan tidak menyebabkan kenyang. Jika dikatakan bahwa makan dapat menyebabkan kenyang, karena Tuhan memberikan kekuatan atau sifat mengenyangkan, berarti Tuhan membutuhkan selain-Nya sebagai perantara terwujudnya kenyang itu. Orang yang menyatakan demikian dianggap fasiq dan bid‘ah,[11] termasuk kelompok Mu’tazilah.[12] Jika dikatakan bahwa, benda atau sesuatu itu menyebabkan timbulnya kekuatan tertentu, maka yang menyatakan demikian disebutnya kafir secara ijma’.[13] Menurutnya, yang paling selamat adalah menyatakan : “Bahwa kekuatan tertentu benda-benda itu hanyalah merupakan sebab yang telah biasa terjadi”.[14]
Menurutnya, kehendak Tuhan itu mutlak, menghendaki yang baik maupun yang jelek, namun tidak memerintah dan tidak meridai yang jelek itu. Tuhan menghendaki imannya Abu Bakar dan memerintahkannya, seperti juga menghendaki kekufuran Abu Jahal tanpa memerintah dan meridai atas kekufurannya itu.[15] Hal ini, sama dengan pendapat al-Bazdawi (Maturidiyah Bukhara), bahwa kekuasaan Tuhan ada dua macam, yaitu yang diridai dan yang tidak diridai. Artinya manusia melakukan perbuatan –baik atau jelek– atas kehendak Tuhan, tetapi tidak selamanya diridai, Tuhan tidak suka perbuatan jahat.[16] Di sini terdapat inkonsistensi dengan pernyataannya, bahwa semua perbuatan manusia diciptakan Tuhan, sesuai dengan firman Tuhan surat as-Saffat ayat 96 tersebut di atas.
V. KEADILAN TUHAN
Keadilan Tuhan menurut Nawawi, bahwa keadilan Tuhan adalah sesuai dengan kehendak-Nya. Tuhan boleh berkehendak untuk apa saja, termasuk adil jika memasukkan orang mu’min ke neraka dan orang kafir ke surga. Sebab, bagi Tuhan tidak ada kewajiban yang mengikat-Nya, memasukkan orang beriman ke surga lantaran anugerah (fadl)-Nya, dan memasukkan orang kafir ke neraka lantaran keadilan-Nya. Adil berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya. Hal ini berbeda dengan konsep Mu’tazilah tentang adil, yaitu memberikan sesuatu kepada yang berhak menerimanya. Tuhan tidak dapat disebut zalim, sebab Dia pemilik segala sesuatu, Dia berhak melakukan apa saja.[17]
Pendapat Nawawi ini, sebagaimana kaum Asy’ariyah lainnya, terdapat persoalan yang rumit. Sebab, paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mengandung arti manusia tidak mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihan, sehingga tidak dapat disebut adil jika Tuhan menghukum orang yang melakukan perbuatan yang tidak dikehendakinya, atau karena terpaksa. Di sini Nawawi mencarikan jalan kelar, yaitu konsep iradah dan ar-rida seperti di atas. Maka menentang perintah dan keridaan-Nya, wajar jika mendapatkan pahala atau siksa, sehingga tidak dapat disebut zalim jika Tuhan menghukum orang yang berbuat jahat. Meskipun demikian, tetap saja terdapat kesulitan, yaitu pada hakekatnya kebebasan manusia untuk memilih yang diridai dan yang tidak diridai Tuhan tetap berdasarkan kasb (perolehan) yang diberikan kepada orang itu.
VI. KESIMPULAN
Dari uraian singkat di atas, maka dapat disampaikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemikiran seorang tokoh adalah merupakan hasil dialog dengan lingkungan sosial masyarakat sekitarnya, termasuk Nawawi al-Bantani. Dididik dan dibesarkan dalam lingkungan agamis, yang mengikuti paham Asy‘ariyah, baik ketika menuntut ilmu di Jawa maupun di Makkah.
2. Pemikiran kalamnya, mengikuti pemikiran al-Asy’ari. Meskipun dalam masalah tertentu, seperti kehendak dan rida mengikuti al-Bazdawi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bazdawi, Usul ad-Din, Kairo: ‘Isa al-Babi al-Halabi, 1963.
Mas’ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LKiS, 2004.
Muhammad Nawawi ibn ‘Umar al-Jawi, Fath al-Majid, Semarang: al-Alawiyah, t.th.
_________________, Syarh Tijan ad-Darari, Semarang: al-‘Alawiyah, t.th.
Steenbrink, Karel A., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mahkota, 1989.
AKAL DAN INTUISI
Allah mentakdirkan bahwa manusia itu mempunyai satu perasaan yang amat luas kekuasaannya dan tersembunyi, tapi sungguh ajaib dan kuat. Bila manusia menerima sesuatu dari luar, maka dia bergetar dan bergerak memberi tanda-tanda kepada kita dengan perubahan mimic dan wajah atau suatu perasaan di hati.
Bila seorang melakukan sesuatu, maka alat yang halus itu yakni wujdan, menimbulkan rasa lega, sejuk, nyaman dan senang di dada, yang mungkin ditunjukkan oleh muka/wajah yang berseri-seri. Tanda itu bisa memberi nilai bahwa pekerjaan itu baik adanya, akan tetapi kalau rasa itu takut dan kecewa, maka bisa dipastikan kalau perbuatan / pekerjaan itu adalah jahat dan salah. Maka dari itu, wujdan atau perasaan halus atau getaran di jiwa itu dapat dijadikan pertimbangan dan ukuran tentang baik atau buruknya sesuatu.
A. Pengertian Akal dan Intuisi (Wujdan)
Secara epistemologis, ada dua instrumen yang bertalian erat dengan pengetahuan sufistik, yaitu akal dan intuisi (wujdan). Akal berdasar prinsip filosofis al-Ghazali adalah fitrah instinkif dan cahaya orisinil yang menjadi sarana manusia dalam memahami realita. Sementara intuisi (wujdan) adalah rasa batin sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan, akal memperoleh, pengetahuan yang dicirikan oleh kesadaran akan sebab dan musabab (akibat) suatu keputusan yang tidak terbatas pada kepekaan indera tertentu dan tidak tertuju pada objek tertentu pula.
Pengetahuan intuitif sesungguhnya tetap termuat dalam intelektualisme manusia pada umumnya, tetapi agak dilawankan dengan rasio sejauh hal itu menekankan sistematika dan kekuatan metodis. Bila dilihat dari dasar biotiknya secara global, baik akal ataupun intuisi dialokasikan dalam kedua belah otak manusia. Belahan otak sebelah kanan memiliki kecenderungan dan kepekaan rasa, aktivitas spontan dan feeling merupakan sumber dari intuisi tersebut. Sedangkan belahan otak sebelah kiri memiliki kecenderungan dan kepekaan logis, matematis dan kegiatan-kegiatan sebagai basis rasio atau akal meski pembagiannya itu tidak secara spesial, sebab masing-masing selalu dalam kondisi interaktif.
B. Hubungan Akal dengan Intuisi (Wujdan)
Untuk mengetahui hubungan akal dengan intuisi yang pada hakekatnya selalu dalam kondisi interaktif, terlebih dahulu dilihat jenis-jenis pengetahuan yang dapat ditangkap oleh manusia. Menurut al-Ghazali ada 4 tingkatan eksistensi (wujud), yaitu:
1. Wujud metafisik, terangkum dalam al-lauh al-mahfudh
2. Wujud empirik dalam dunia konkrit
3. Wujud khayali (imajinatif)
4. Wujud rasional.
Menurut Anton Baker, hubungan antara akal dan intuisi bukan merupakan sesuatu yang musykil, karena perbedaan antara keduanya dalam menangkap pengetahuan hanya dari segi metodik dan sistematik.
Dalam memperjelas hubungan akal dan intuisi, al-Ghazali menjelaskan atau membuat perumpamaan orang yang memperoleh pengetahuan dengan akal (al-aql) diibaratkan dengan al-thifl dan orang yang memperoleh pengetahuan dengan intuisi (wali) diibaratkan sebagai al-mumayyiz. Perumpamaan ini mengisyaratkan adanya tingkatan antar keduanya. Jika hal ini dihubungkan dengan teori jiwa rasional manusia sesudah mampu menangkap pengetahuan-pengetahuan apriori, yang pada gilirannya memperlihatkan dua kemampuan yaitu kemampuan memproduksi pengetahuan lewat pemahaman (olah) pikir dan lewat pemahaman (olah) rasa.
Pemahaman (olah) pikir yang disebut juga dengan al-qiyas adalah menggunakan sarana al-mufakirah yang bertempat di otak, sedangkan yang diperoleh melalui pemahaman olah rasa (wujdan) adalah menggunakan sarana/daya al-iradat yang berpusat di hati. Jadi, otak berhubungan dengan akal, sedangkan hati berhubungan dengan intuisi.
Bergson membagi intuisi menjadi dua macam, yaitu :
1. Intuisi yang bersifat infra intelektual
2. Intuisi yang bersifat supra intelektual
Jika keduanya dapat melakukan interaksi secara intens, maka akan memberi kemungkinan pada intuisi infra intelektual meningkat setelah didominasi oleh supra intelektual. Ada tiga hal yang menjadi bukti diterimanya kebenaran intuitif, yaitu :
1. Moralitas subyek
2. Akal sehat
3. Keahlian subyek secara tepat.
C. Kaitan Tasawuf dengan Akal
Akal mempunyai 2 fungsi yang dibutuhkan oleh tasawuf, yaitu :
1. Akal sebagai prasarana bagi jalan tasawuf yang mempunyai 3 fungsi
2. akal sebagai sarana dan alat evaluasi yang berfungsi untuk melakukan pengujian dan penilaian kritis terhadap pengalaman-pengalaman sufistik serta perluasannya.
D. Proses Kerja Akal dan Intuisi
Untuk mengetahui mekanisme atau proses kerja akal dan intuisi dalam menangkap pengetahuan segi penalarannya dapat menggunakan hasil-hasil kajian para psikolog modern tentang “pemikiran kreatif” yang disebut ilham dan iluminasi. Menurutnya, jenis ilham dalam pemikiran kreatif sesungguhnya timbul dari akal seseorang ketika ia melakukan aktifitas.
Allah mentakdirkan bahwa manusia itu mempunyai satu perasaan yang amat luas kekuasaannya dan tersembunyi, tapi sungguh ajaib dan kuat. Bila manusia menerima sesuatu dari luar, maka dia bergetar dan bergerak memberi tanda-tanda kepada kita dengan perubahan mimic dan wajah atau suatu perasaan di hati.
Bila seorang melakukan sesuatu, maka alat yang halus itu yakni wujdan, menimbulkan rasa lega, sejuk, nyaman dan senang di dada, yang mungkin ditunjukkan oleh muka/wajah yang berseri-seri. Tanda itu bisa memberi nilai bahwa pekerjaan itu baik adanya, akan tetapi kalau rasa itu takut dan kecewa, maka bisa dipastikan kalau perbuatan / pekerjaan itu adalah jahat dan salah. Maka dari itu, wujdan atau perasaan halus atau getaran di jiwa itu dapat dijadikan pertimbangan dan ukuran tentang baik atau buruknya sesuatu.
A. Pengertian Akal dan Intuisi (Wujdan)
Secara epistemologis, ada dua instrumen yang bertalian erat dengan pengetahuan sufistik, yaitu akal dan intuisi (wujdan). Akal berdasar prinsip filosofis al-Ghazali adalah fitrah instinkif dan cahaya orisinil yang menjadi sarana manusia dalam memahami realita. Sementara intuisi (wujdan) adalah rasa batin sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan, akal memperoleh, pengetahuan yang dicirikan oleh kesadaran akan sebab dan musabab (akibat) suatu keputusan yang tidak terbatas pada kepekaan indera tertentu dan tidak tertuju pada objek tertentu pula.
Pengetahuan intuitif sesungguhnya tetap termuat dalam intelektualisme manusia pada umumnya, tetapi agak dilawankan dengan rasio sejauh hal itu menekankan sistematika dan kekuatan metodis. Bila dilihat dari dasar biotiknya secara global, baik akal ataupun intuisi dialokasikan dalam kedua belah otak manusia. Belahan otak sebelah kanan memiliki kecenderungan dan kepekaan rasa, aktivitas spontan dan feeling merupakan sumber dari intuisi tersebut. Sedangkan belahan otak sebelah kiri memiliki kecenderungan dan kepekaan logis, matematis dan kegiatan-kegiatan sebagai basis rasio atau akal meski pembagiannya itu tidak secara spesial, sebab masing-masing selalu dalam kondisi interaktif.
B. Hubungan Akal dengan Intuisi (Wujdan)
Untuk mengetahui hubungan akal dengan intuisi yang pada hakekatnya selalu dalam kondisi interaktif, terlebih dahulu dilihat jenis-jenis pengetahuan yang dapat ditangkap oleh manusia. Menurut al-Ghazali ada 4 tingkatan eksistensi (wujud), yaitu:
1. Wujud metafisik, terangkum dalam al-lauh al-mahfudh
2. Wujud empirik dalam dunia konkrit
3. Wujud khayali (imajinatif)
4. Wujud rasional.
Menurut Anton Baker, hubungan antara akal dan intuisi bukan merupakan sesuatu yang musykil, karena perbedaan antara keduanya dalam menangkap pengetahuan hanya dari segi metodik dan sistematik.
Dalam memperjelas hubungan akal dan intuisi, al-Ghazali menjelaskan atau membuat perumpamaan orang yang memperoleh pengetahuan dengan akal (al-aql) diibaratkan dengan al-thifl dan orang yang memperoleh pengetahuan dengan intuisi (wali) diibaratkan sebagai al-mumayyiz. Perumpamaan ini mengisyaratkan adanya tingkatan antar keduanya. Jika hal ini dihubungkan dengan teori jiwa rasional manusia sesudah mampu menangkap pengetahuan-pengetahuan apriori, yang pada gilirannya memperlihatkan dua kemampuan yaitu kemampuan memproduksi pengetahuan lewat pemahaman (olah) pikir dan lewat pemahaman (olah) rasa.
Pemahaman (olah) pikir yang disebut juga dengan al-qiyas adalah menggunakan sarana al-mufakirah yang bertempat di otak, sedangkan yang diperoleh melalui pemahaman olah rasa (wujdan) adalah menggunakan sarana/daya al-iradat yang berpusat di hati. Jadi, otak berhubungan dengan akal, sedangkan hati berhubungan dengan intuisi.
Bergson membagi intuisi menjadi dua macam, yaitu :
1. Intuisi yang bersifat infra intelektual
2. Intuisi yang bersifat supra intelektual
Jika keduanya dapat melakukan interaksi secara intens, maka akan memberi kemungkinan pada intuisi infra intelektual meningkat setelah didominasi oleh supra intelektual. Ada tiga hal yang menjadi bukti diterimanya kebenaran intuitif, yaitu :
1. Moralitas subyek
2. Akal sehat
3. Keahlian subyek secara tepat.
C. Kaitan Tasawuf dengan Akal
Akal mempunyai 2 fungsi yang dibutuhkan oleh tasawuf, yaitu :
1. Akal sebagai prasarana bagi jalan tasawuf yang mempunyai 3 fungsi
2. akal sebagai sarana dan alat evaluasi yang berfungsi untuk melakukan pengujian dan penilaian kritis terhadap pengalaman-pengalaman sufistik serta perluasannya.
D. Proses Kerja Akal dan Intuisi
Untuk mengetahui mekanisme atau proses kerja akal dan intuisi dalam menangkap pengetahuan segi penalarannya dapat menggunakan hasil-hasil kajian para psikolog modern tentang “pemikiran kreatif” yang disebut ilham dan iluminasi. Menurutnya, jenis ilham dalam pemikiran kreatif sesungguhnya timbul dari akal seseorang ketika ia melakukan aktifitas.
QODARIAH DAN JABARIAH
Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia sendiri. Selanjutnya Tuhan bersifat Maha Kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Di sini timbullah pertanyaan sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan, bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Diberi Tuhankah manusia kemerdekaan dalam mengatur hidupnya? Atau manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?
A. Qadariyah
Qadariyah mula-mula ditimbulkan pertama kali sekitar tahun 70 H/689 M, dipimpin oleh seorang bernama Ma’bad al-Juhani dan Ja’ad bin Dirham, pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M). Menurut Ibn Nabatah, Ma’bad al-Juhani dan temannya Ghailan al-Dimasyqi mengambil faham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di Irak. Ma’ad al-Juhni adalah seorang tabi’in, pernah belajar kepada Washil bin Atho’, pendiri Mu’tazilah. Dia dihukum mati oleh al-Hajaj, Gubernur Basrah, karena ajaran-ajarannya. Dan menurut al-Zahabi, Ma’ad adalah seorang tabi’in yang baik, tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak Abd al-Rahman ibn al-Asy’as, gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. Dalam pertempuran dengan al-Hajjaj, Ma’ad mati terbunuh dalam tahun 80 H.
Sedangkan Ghailan al-Dimasyqi adalah penduduk kota Damaskus. Ayahnya seorang yang pernah bekerja pada khalifah Utsman bin Affan. Ia datang ke Damaskus pada masa pemerintahan khalifah Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H). Ghailan juga dihukum mati karena faham-fahamnya. Ghailan sendiri menyiarkan faham Qadariyahnya di Damaskus, tetapi mendapat tantangan dari khalifah Umar ibn Abd al-Aziz. Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Dalam faham ini manusia merdeka dalam tingkah lakunya. Di sini tak terdapat faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu, dan bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya hanya bertindak menurut nasibnya yang telah ditentukan semenjak azal. Selain penganjur faham Qadariyah, Ghailan juga merupakan pemuka Murji’ah dari golongan al-Salihiah. Tokoh-tokoh faham Qadariyah antara lain : Abi Syamr, Ibnu Syahib, Galiani al-Damasqi, dan Saleh Qubbah.
Kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut faham Qadaiyah, manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau kadar Tuhan. Dalam istilah inggrisnya faham ini dikenal dengan nama free will dan free act.
Mereka, kaum Qadariyah mengemukakan dalil-dalil akal dan dalil-dalil naqal (Al-Qur’an dan Hadits) untuk memperkuat pendirian mereka. Mereka memajukan dalil, kalau perbuatan manusia sekarang dijadikan oleh Tuhan, juga kenapakah mereka diberi pahala kalau berbuat baik dan disiksa kalau berbuat maksiat, padahal yang membuat atau menciptakan hal itu adalah Allah Ta’ala.
Dikemukakan pula dalil dari ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan sendiri oleh kaum Qadariyah sesuai dengan madzhabnya, tanpa memperhatikan tafsir-tafsir dari Nabi dan sahabat Nabi ahli tafsir. Misalnya mereka kemukakan ayat :
فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاء فَلْيَكْفُرْ
“Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan barang yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. (QS. Al-Kahfi : 29).
Menurut Qadariyah, dalam ayat ini, bahwa iman dan kafir dari seseorang tergantung pada orang itu, bukan lagi kepada Tuhan. Ini suatu bukti bahwa manusialah yang menentukan, bukan Tuhan. Dalam segi tertentu Qadariyah mempunyai kesamaan ajaran dengan Mu’tazilah.
B. Jabariyah
Firqah Jabariyah timbul bersamaan dengan timbulnya firqah Qadariyah, dan tampaknya merupakan reaksi dari padanya. Daerah tempat timbulnya juga tidak berjauhan. Firqah Qadariyah timbul di Irak, sedangkan firqoh Jabariyah timbul di Khurasan Persia.
Pemimpinnya yang pertama adalah Jaham bin Sofwan. Karena itu firqah ini kadang-kadang disebut al-Jahamiyah. Mula-mula Jaham bin Sofwan adalah juru tulis dari seorang pemimpin bernama Suraih bin Harits, Ali Nashar bin Sayyar yang memberontak di daerah Khurasan terhadap kekuasaan Bani Umayyah. Dia terkenal orang yang tekun dan rajin menyiarkan agama.
Kaum Jabariyah berpendapat, bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam faham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Jadi nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Memang dalam aliran ini terdapat faham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah inggris faham ini disebut fatalism atau predestination. Menurut mereka, bahwa hanya Allah sajalah yang menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia. Semua perbuatan itu sejak semula telah diketahui Allah, dan semua amal perbuatan itu adalah berlaku dengan kodrat dan iradat-Nya. Manusia tidak mencampurinya sama sekali. Usaha manusia sama sekali bukan ditentukan oleh manusia sendiri. Kodrat dan iradat Allah adalah membekukan dan mencabut kekuasaan manusia sama sekali. Pada hakekatnya segala pekerjaan dan gerak-gerik manusia sehari-harinya adalah merupakan paksaan (majbur) semata-mata. Kebaikan dan kejahatan itupun semata-mata paksaan pula, sekalipun nantinya manusia memperoleh balasan surga dan neraka.
Pembalasan surga atau neraka itu bukan sebagai ganjaran atas kebaikan yang diperbuat manusia sewaktu hidupnya, dan balasan kejahatan yang dilarangnya, tetapi surga dan neraka itu semata-mata sebagai bukti kebesaran Allah dalam kodrat dan iradat-Nya.
Jaham bin Sofwan, selain penggerak gerakan Jabariyah, juga seorang pemimpin gerakan yang mengatakan: “bahwa Allah tidak diberi nama apapun, dan tidak pula diberi nama-nama lain kecuali Dia Maha Kuasa (al-Qadir)” karena menurutnya “tidak layak Tuhan itu disifati dengan sifat yang dipakai untuk mensifati makhluk-Nya”.
Adapun cikal bakal munculnya perkataan ini “pengingkaran terhadap sifat-sifat Allah” berasal dari murid-murid kaum Yahudi dan musyrikin, termasuk kaum Shabi’in. Orang yang pertama kali mengucapkan perkataan ini adalah al-Ja’d bin Darhim. Kemudian diambil dan dipopulerkan oleh Jaham bin Sofwan, sehingga paham Jahamiyah dinisbatkan kepadanya. Al-Ja’d mengambil pernyataan tersebut dari Abban bin Sam’an. Abban sendiri mengambilnya dari Thalut bin Ukhti. Dan Thalut mengambilnya dari Lubaid bin Sam’an al-A’sham, seorang ahli sihir Yahudi. Selain itu Jaham bin Sofwan juga pernah mengatakan bahwa sesungguhnya iman itu cukup hanya dengan tashdiq (pembenaran dalam hati), sekalipun tidak dinyatakan. Hal ini tidak sesuai dengan faham Ahlussunnah wal Jama’ah yang berpendapat bahwa iman itu ialah membenarkan dalam hati dan mengakui dengan lisan. Orang Islam yang pertama kali menyatakan paham ini di dalam Islam adalah al-Ja’d bin Darhim.
Terhadap al-Qur’an, Jaham bin Sofwan berpendapat, bahwa al-Qur’an itu adalah makhluk Allah yang dibuat. Sedangkan terhadap Allah ia berpendapat, bahwa Allah itu sekali-kali tidak mungkin dapat terlihat oleh manusia, walaupun di akhirat kelak. Tentang surga dan neraka, kelak sesudah manusia semuanya masuk ke dalamnya dan sudah merasakan pembalasan bagaimana nikmatnya surga dan bagaimana azabnya neraka, maka lenyaplah surga dan neraka itu.
Dalam pemahamannya, Jabariyah ini melampaui batas, sehingga mengiktikadkan bahwa tidak berdosa kalau berbuat kejahatan, karena yang berbuat itu pada hakekatnya Allah pula. Sesatnya lagi, mereka berpendapat bahwa orang itu mencuri, maka Tuhan pula yang mencuri, bila orang sembahyang maka Tuhan pula yang sembahyang. Jadi kalau orang yang berbuat buruk atau jahat lalu dimasukkan ke dalam neraka, maka Tuhan itu tidak adil. Karena apapun yang diperbuat manusia, kebaikan atau keburukan, tidak satupun terlepas dari kodrat dan iradat-Nya.
Sebagian pengikut Jabariyah beranggapan telah bersatu dengan Tuhan. Di sini menimbulkan faham wihdatul wujud, yaitu bersatunya hamba dengan Dia. I’tiqad persatuan antara Khalik dan makhluk adalah i’tiqad yang keliru, karena Tuhan tidak serupa dengan sekalian yang ada dalam alam ini. Menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah, manusia akan mendapatkan hukuman karena ikhtiar atau usahanya yang tidak baik dan akan diberi paham dengan karunia Tuhan atas ikhtiar dan usahanya yang baik itu. Sesuai dengan firman-Nya :
لَهَا مَاكَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَااكْتَسَبَتْ
“Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”. (QS. Al-Baqarah : 286)
Gerakan golongan ini mendapat tantangan yang hebat dari golongan-golongan dan ulama-ulama diluar Jabariyah, yang menolak dan memberantasnya. Penolakan ini lebih-lebih ditandaskan kepada dua soal, yaitu:
a. Pendirian Jabariyah, bahwa manusia itu tidak mempunyai ikhtiar sedikitpun. Ajaran dan pendirian ini tentulah akan menjadikan manusia malas dan putus asa, tidak mau bekerja. Bahkan akan berserah diri kepada Qadar saja. Keadaan semacam ini pasti mengakibatkan kemunduran umat Islam.
b. Terhadap takwil yang berlebih-lebihan, mentakwilkan al-Qur’an yang mengandung sifat-sifat Allah. Dengan takwil ini berarti membatasi memahamkan al-Qur’an dari satu jurusan saja. Padahal makna dan tujuan al-Qur’an itu amat luas dan jauh lebih sempurna daripada yang ditakwilkan mereka itu.
Dalam segi-segi tertentu, Jabariyah dan Mu’tazilah mempunyai kesamaan pendapat, misalnya tentang sifat Allah, surga dan neraka tidak kekal, Allah tidak bisa dilihat di akhirat kelak, al-Qur’an itu makhluk dan lain-lain. Jaham bin Sofwan mati terbunuh oleh pasukan Bani Umayyah pada tahun 131 H.
ANALISIS
Qadariyah adalah faham yang menyatakan bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dari manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Jabariyah adalah aliran yang berpendapat, bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam faham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan.
Dari kedua faham tersebut, semuanya adanya faham-faham yang salah mengenai manusia dan Tuhan dalam menentukan suatu perbuatan baik buruk ataupun dosa atau tidak. Karena pada hakekatnya manusia diberi akal dan pikiran untuk berbuat dan berusaha, sedangkan nantinya Allah lah yang menentukan hasilnya. Sesuai dengan ajaran-ajaran ahlussunnah wal Jama’ah, yang menetapkan pokok-pokok kepercayaan menurut prinsip-prinsip yang sesuai dengan tujuan akal pikiran.
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa aliran Qadariyah adalah aliran yang menyebarkan faham bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak dan berbuat (kholiqul af’al), sedangkan Jabariyah adalah aliran yang menyebarkan faham bahwa Tuhanlah yang berkuasa dan manusia tidak mempunyai daya apapun. Dan keduanya adalah ajaran yang salah.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Siradjudin, I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1971.
Al-Mishri, Muhammad Abdul Hadi, Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Menurut Pemahaman Ulama Salaf, Jakarta: Gema Insani Press, 1992.
Mu’in, M. Taib Abdul, Ilmu Kalam, Jakarta: Widjaya, 1997.
Nasir, Sahilun A., Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: Rajawali Press, 1991.
Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 2002.
Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia sendiri. Selanjutnya Tuhan bersifat Maha Kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Di sini timbullah pertanyaan sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan, bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Diberi Tuhankah manusia kemerdekaan dalam mengatur hidupnya? Atau manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?
A. Qadariyah
Qadariyah mula-mula ditimbulkan pertama kali sekitar tahun 70 H/689 M, dipimpin oleh seorang bernama Ma’bad al-Juhani dan Ja’ad bin Dirham, pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M). Menurut Ibn Nabatah, Ma’bad al-Juhani dan temannya Ghailan al-Dimasyqi mengambil faham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di Irak. Ma’ad al-Juhni adalah seorang tabi’in, pernah belajar kepada Washil bin Atho’, pendiri Mu’tazilah. Dia dihukum mati oleh al-Hajaj, Gubernur Basrah, karena ajaran-ajarannya. Dan menurut al-Zahabi, Ma’ad adalah seorang tabi’in yang baik, tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak Abd al-Rahman ibn al-Asy’as, gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. Dalam pertempuran dengan al-Hajjaj, Ma’ad mati terbunuh dalam tahun 80 H.
Sedangkan Ghailan al-Dimasyqi adalah penduduk kota Damaskus. Ayahnya seorang yang pernah bekerja pada khalifah Utsman bin Affan. Ia datang ke Damaskus pada masa pemerintahan khalifah Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H). Ghailan juga dihukum mati karena faham-fahamnya. Ghailan sendiri menyiarkan faham Qadariyahnya di Damaskus, tetapi mendapat tantangan dari khalifah Umar ibn Abd al-Aziz. Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Dalam faham ini manusia merdeka dalam tingkah lakunya. Di sini tak terdapat faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu, dan bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya hanya bertindak menurut nasibnya yang telah ditentukan semenjak azal. Selain penganjur faham Qadariyah, Ghailan juga merupakan pemuka Murji’ah dari golongan al-Salihiah. Tokoh-tokoh faham Qadariyah antara lain : Abi Syamr, Ibnu Syahib, Galiani al-Damasqi, dan Saleh Qubbah.
Kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut faham Qadaiyah, manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau kadar Tuhan. Dalam istilah inggrisnya faham ini dikenal dengan nama free will dan free act.
Mereka, kaum Qadariyah mengemukakan dalil-dalil akal dan dalil-dalil naqal (Al-Qur’an dan Hadits) untuk memperkuat pendirian mereka. Mereka memajukan dalil, kalau perbuatan manusia sekarang dijadikan oleh Tuhan, juga kenapakah mereka diberi pahala kalau berbuat baik dan disiksa kalau berbuat maksiat, padahal yang membuat atau menciptakan hal itu adalah Allah Ta’ala.
Dikemukakan pula dalil dari ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan sendiri oleh kaum Qadariyah sesuai dengan madzhabnya, tanpa memperhatikan tafsir-tafsir dari Nabi dan sahabat Nabi ahli tafsir. Misalnya mereka kemukakan ayat :
فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاء فَلْيَكْفُرْ
“Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan barang yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. (QS. Al-Kahfi : 29).
Menurut Qadariyah, dalam ayat ini, bahwa iman dan kafir dari seseorang tergantung pada orang itu, bukan lagi kepada Tuhan. Ini suatu bukti bahwa manusialah yang menentukan, bukan Tuhan. Dalam segi tertentu Qadariyah mempunyai kesamaan ajaran dengan Mu’tazilah.
B. Jabariyah
Firqah Jabariyah timbul bersamaan dengan timbulnya firqah Qadariyah, dan tampaknya merupakan reaksi dari padanya. Daerah tempat timbulnya juga tidak berjauhan. Firqah Qadariyah timbul di Irak, sedangkan firqoh Jabariyah timbul di Khurasan Persia.
Pemimpinnya yang pertama adalah Jaham bin Sofwan. Karena itu firqah ini kadang-kadang disebut al-Jahamiyah. Mula-mula Jaham bin Sofwan adalah juru tulis dari seorang pemimpin bernama Suraih bin Harits, Ali Nashar bin Sayyar yang memberontak di daerah Khurasan terhadap kekuasaan Bani Umayyah. Dia terkenal orang yang tekun dan rajin menyiarkan agama.
Kaum Jabariyah berpendapat, bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam faham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Jadi nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Memang dalam aliran ini terdapat faham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah inggris faham ini disebut fatalism atau predestination. Menurut mereka, bahwa hanya Allah sajalah yang menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia. Semua perbuatan itu sejak semula telah diketahui Allah, dan semua amal perbuatan itu adalah berlaku dengan kodrat dan iradat-Nya. Manusia tidak mencampurinya sama sekali. Usaha manusia sama sekali bukan ditentukan oleh manusia sendiri. Kodrat dan iradat Allah adalah membekukan dan mencabut kekuasaan manusia sama sekali. Pada hakekatnya segala pekerjaan dan gerak-gerik manusia sehari-harinya adalah merupakan paksaan (majbur) semata-mata. Kebaikan dan kejahatan itupun semata-mata paksaan pula, sekalipun nantinya manusia memperoleh balasan surga dan neraka.
Pembalasan surga atau neraka itu bukan sebagai ganjaran atas kebaikan yang diperbuat manusia sewaktu hidupnya, dan balasan kejahatan yang dilarangnya, tetapi surga dan neraka itu semata-mata sebagai bukti kebesaran Allah dalam kodrat dan iradat-Nya.
Jaham bin Sofwan, selain penggerak gerakan Jabariyah, juga seorang pemimpin gerakan yang mengatakan: “bahwa Allah tidak diberi nama apapun, dan tidak pula diberi nama-nama lain kecuali Dia Maha Kuasa (al-Qadir)” karena menurutnya “tidak layak Tuhan itu disifati dengan sifat yang dipakai untuk mensifati makhluk-Nya”.
Adapun cikal bakal munculnya perkataan ini “pengingkaran terhadap sifat-sifat Allah” berasal dari murid-murid kaum Yahudi dan musyrikin, termasuk kaum Shabi’in. Orang yang pertama kali mengucapkan perkataan ini adalah al-Ja’d bin Darhim. Kemudian diambil dan dipopulerkan oleh Jaham bin Sofwan, sehingga paham Jahamiyah dinisbatkan kepadanya. Al-Ja’d mengambil pernyataan tersebut dari Abban bin Sam’an. Abban sendiri mengambilnya dari Thalut bin Ukhti. Dan Thalut mengambilnya dari Lubaid bin Sam’an al-A’sham, seorang ahli sihir Yahudi. Selain itu Jaham bin Sofwan juga pernah mengatakan bahwa sesungguhnya iman itu cukup hanya dengan tashdiq (pembenaran dalam hati), sekalipun tidak dinyatakan. Hal ini tidak sesuai dengan faham Ahlussunnah wal Jama’ah yang berpendapat bahwa iman itu ialah membenarkan dalam hati dan mengakui dengan lisan. Orang Islam yang pertama kali menyatakan paham ini di dalam Islam adalah al-Ja’d bin Darhim.
Terhadap al-Qur’an, Jaham bin Sofwan berpendapat, bahwa al-Qur’an itu adalah makhluk Allah yang dibuat. Sedangkan terhadap Allah ia berpendapat, bahwa Allah itu sekali-kali tidak mungkin dapat terlihat oleh manusia, walaupun di akhirat kelak. Tentang surga dan neraka, kelak sesudah manusia semuanya masuk ke dalamnya dan sudah merasakan pembalasan bagaimana nikmatnya surga dan bagaimana azabnya neraka, maka lenyaplah surga dan neraka itu.
Dalam pemahamannya, Jabariyah ini melampaui batas, sehingga mengiktikadkan bahwa tidak berdosa kalau berbuat kejahatan, karena yang berbuat itu pada hakekatnya Allah pula. Sesatnya lagi, mereka berpendapat bahwa orang itu mencuri, maka Tuhan pula yang mencuri, bila orang sembahyang maka Tuhan pula yang sembahyang. Jadi kalau orang yang berbuat buruk atau jahat lalu dimasukkan ke dalam neraka, maka Tuhan itu tidak adil. Karena apapun yang diperbuat manusia, kebaikan atau keburukan, tidak satupun terlepas dari kodrat dan iradat-Nya.
Sebagian pengikut Jabariyah beranggapan telah bersatu dengan Tuhan. Di sini menimbulkan faham wihdatul wujud, yaitu bersatunya hamba dengan Dia. I’tiqad persatuan antara Khalik dan makhluk adalah i’tiqad yang keliru, karena Tuhan tidak serupa dengan sekalian yang ada dalam alam ini. Menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah, manusia akan mendapatkan hukuman karena ikhtiar atau usahanya yang tidak baik dan akan diberi paham dengan karunia Tuhan atas ikhtiar dan usahanya yang baik itu. Sesuai dengan firman-Nya :
لَهَا مَاكَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَااكْتَسَبَتْ
“Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”. (QS. Al-Baqarah : 286)
Gerakan golongan ini mendapat tantangan yang hebat dari golongan-golongan dan ulama-ulama diluar Jabariyah, yang menolak dan memberantasnya. Penolakan ini lebih-lebih ditandaskan kepada dua soal, yaitu:
a. Pendirian Jabariyah, bahwa manusia itu tidak mempunyai ikhtiar sedikitpun. Ajaran dan pendirian ini tentulah akan menjadikan manusia malas dan putus asa, tidak mau bekerja. Bahkan akan berserah diri kepada Qadar saja. Keadaan semacam ini pasti mengakibatkan kemunduran umat Islam.
b. Terhadap takwil yang berlebih-lebihan, mentakwilkan al-Qur’an yang mengandung sifat-sifat Allah. Dengan takwil ini berarti membatasi memahamkan al-Qur’an dari satu jurusan saja. Padahal makna dan tujuan al-Qur’an itu amat luas dan jauh lebih sempurna daripada yang ditakwilkan mereka itu.
Dalam segi-segi tertentu, Jabariyah dan Mu’tazilah mempunyai kesamaan pendapat, misalnya tentang sifat Allah, surga dan neraka tidak kekal, Allah tidak bisa dilihat di akhirat kelak, al-Qur’an itu makhluk dan lain-lain. Jaham bin Sofwan mati terbunuh oleh pasukan Bani Umayyah pada tahun 131 H.
ANALISIS
Qadariyah adalah faham yang menyatakan bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dari manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Jabariyah adalah aliran yang berpendapat, bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam faham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan.
Dari kedua faham tersebut, semuanya adanya faham-faham yang salah mengenai manusia dan Tuhan dalam menentukan suatu perbuatan baik buruk ataupun dosa atau tidak. Karena pada hakekatnya manusia diberi akal dan pikiran untuk berbuat dan berusaha, sedangkan nantinya Allah lah yang menentukan hasilnya. Sesuai dengan ajaran-ajaran ahlussunnah wal Jama’ah, yang menetapkan pokok-pokok kepercayaan menurut prinsip-prinsip yang sesuai dengan tujuan akal pikiran.
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa aliran Qadariyah adalah aliran yang menyebarkan faham bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak dan berbuat (kholiqul af’al), sedangkan Jabariyah adalah aliran yang menyebarkan faham bahwa Tuhanlah yang berkuasa dan manusia tidak mempunyai daya apapun. Dan keduanya adalah ajaran yang salah.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Siradjudin, I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1971.
Al-Mishri, Muhammad Abdul Hadi, Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Menurut Pemahaman Ulama Salaf, Jakarta: Gema Insani Press, 1992.
Mu’in, M. Taib Abdul, Ilmu Kalam, Jakarta: Widjaya, 1997.
Nasir, Sahilun A., Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: Rajawali Press, 1991.
Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 2002.
SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM
Pembentukan moral yang tinggi adalah tujuan utama dari pendidikan Islam. Pada ulama telah berusaha menanamkan akhlak yang mulia, meresapkan fadhilah dalam jiwa manusia, membiasakan mereka berpegang teguh kepada moral yang tinggi dan menghindari hal-hal yang tercela. Ilmu di masa Rasul dan khalifah adalah suatu yang paling berharga di dunia. Sedangkan ulama yang beramal adalah pewaris para Nabi, seseorang tidak akan sanggup menjalankan mission (tugas-tugas) ilmiah kecuali bila ia berhias dengan akhlak yang tinggi, jiwanya bersih dari berbagai celaan. Dengan jalan ilmu dan amal serta kerja yang baik, rohani mereka meningkat naik mendekati Maha Pencipta yaitu Allah SWT.
Pendidikan Islam mengutamakan segi kerohanian dan moral, maka segi pendidikan mental, jasmani, matematik, ilmu sosial dan jurusan-jurusan praktis tidak diabaikan begitu saja, sehingga dengan demikian pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang komplit dan pendidikan tersebut telah meninggalkan bekas yang tidak dapat dibantah dibidang keimanan, aqidah dan pencapaian ilmu karena zat ilmiah itu sendiri. Pada masa Rasul telah memiliki perkembangan diberbagai bidang, misalnya ilmiah, kesusasteraan dan kebendaan, tetapi belum sampai ke tingkah rohaniah dan akhlak yang tinggi seperti yang pernah dicapai oleh kaum muslimin di masa kejayaannya.
A. Lembaga Pendidikan Pada Masa Rasul dan Khalifah
Adapun alasan yang muncul bagi penentuan ilmu, yang menuntutnya dijadikan tugas agama, satu hal yang pasti adalah bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan ucapan Rasul yang menekankan kepentingan belajar bersama fakta, bahwa simbol sentral dari wahyu Islam adalah sebuah kitab, menjadikan belajar tidak dapat dipisahkan dari agama yang menjadi tempat utama dimana pengajaran dilaksanakan dalam Islam adalah masjid, dan sejak dekade pertama sejarah Islam, lembaga pengajaran sebagian besar tetap tak dapat dipisahkan dari masjid dan biasanya dibiayai dengan shadaqah agama.
Masjid mulai berfungsi sebagai sekolah sejak pemerintahan khalifah kedua, yaitu “Umar” yang mengangkat “penutur” sebagai qashsh untuk masjid di kota-kota, umpama Kufa, Bashrah, dan Damsyik guna membacakan Qur’an dan hadits (sunnah Nabi), dari pengajaran awal dalam bahasa dan agama ini lahirlah sekolah dasar rakyat (Maktab) dan juga pusat pengajaran lanjutan, yang berkembang menjadi universitas-universitas pertama abad pertengahan, dan yang akan menjadi model bagi universitas permulaan di Eropa pada abad 11 dan ke-12.
Tujuan maktab yang masih bertahan di banyak bagian dunia Islam, yaitu memperkenalkan remaja dengan ilmu membaca, menulis, dan lebih khusus dengan prinsip-prinsip agama. Jadi maktab berfungsi disamping sebagai pusat pendidikan agama dan sastra bagi masyarakat umum, juga sebagai sesuatu yang lebih menarik bagi studi kita ini tingkat persiapan bagi lembaga pengajaran lanjutan, dimana sains diajarkan dan dikembangkan.
Pada masa ini pula, muncul kelompok tabi’in yang berguru pada lulusan awal, di antara yang paling terkenal adalah Rabi’ah al-Razi yang membuka pertemuan ilmiah di Masjid Nabawi, adapun murid-muridnya adalah Malik bin Anas al-Asbahi pengarang kitab “al-Muwatta” dan pendiri mazhab Maliki. Sedangkan ulama-ulama tabi’in adalah Sa’id bin al-Musayyab, Urwah bin al-Zubair, Salim Mawla bin Umar dan lain-lain. Di antara yang belajar pada Ibnu Abbas adalah Mujahid (w. 105 H), Sa’id bin Jubair (w. 94 H), Ikrimah Mawla ibn Abbas, Tawus al-Yammani, ‘Ata bin Abi Rabah, semuanya dari Mekah. Di antara tabi’in itu juga adalah al-Hasan al-Basri yang belajar pada Rabi’ah al-Ra’y di Madinah, kemudian kembali ke Bashrah yang dikunjungi oleh penuntut-penuntut ilmu dari seluruh pelosok negeri Islam.
Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam
Ketika agama Islam diturunkan Allah, sudah ada di antara para sahabat yang pandai tulis baca. Kemudian tulis baca tersebut ternyata mendapat tempat dan dorongan yang kuat dalam Islam, sehingga berkembang luas di kalangan umat Islam. Ayat al-Qur’an yang pertama diturunkan, telah memerintahkan untuk membaca dan memberikan gambaran bahwa kepandaian membaca dan menulis merupakan sarana utama dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam. Kepandaian tulis baca dalam kehidupan sosial dan politik umat Islam ternyata memegang peranan penting, sejak nama Nabi Muhammad saw digunakan sebagai media komunikasi dakwah kepada bangsa-bangsa di luar bangsa Arab, dan dalam menuliskan berbagai macam perjanjian. Pada masa Khulafaur Rasyidin dan masa-masa selanjutnya tulis baca digunakan dalam komunikasi ilmiah dan berbagai buku ilmu pengetahuan. Karena tulis baca semakin terasa perlu, maka maktab berbagai tempat belajar, menulis dan membaca, terutama bagi anak-anak, berkembang dengan pesat. Pada mulanya, di awal perkembangan Islam maktab tersebut dilaksanakan di rumah guru-guru yang bersangkutan dan yang diajarkan adalah semata-mata menulis dan membaca, sedangkan yang ditulis atau dibaca adalah syair-syair yang terkenal pada masanya.
Lembaga Pendidikan Islam Sebelum Berdirinya Sekolah
Amalan Rasulullah saw diikuti oleh para sahabat dan pengikut-pengikutnya dan juga kaum muslimin kemudian semakin berkembang negara Islam, semakin banyak pula masjid didirikan untuk memainkan peranannya yang penting dalam masyarakat. Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, negeri Parsi, Syam, Mesir dan seluruh semenanjung tanah Arab ditaklukkan, masjid-masjid didirikan di semua kampung sebagai tempat ibadah dan pusat pendidikan Islam.
B. Pusat Pendidikan Islam Pada Masa Rasul dan Khalifah
Bahwa meluasnya daerah kekuasaan Islam dibarengi dengan usaha penyampaian ajaran Islam kepada penduduknya oleh para sahabat, baik yang ikut sebagai anggota pasukan maupun yang kemudian dikirim oleh khalifah dengan tugas khusus mengajar dan mendidik, maka di luar Madinah, dipusat-pusat wilayah yang baru dikuasai, berdirilah pusat pendidikan dibawah pengurusan para sahabat yang kemudian dikembangkan oleh para tabi’in.
Mahmud Yunus dalam bukunya “Sejarah Pendidikan Islam” menerangkan bahwa pusat pendidikan tersebar di kota-kota besar seperti:
1. Kota Makkah dan Madinah (Hijaz)
2. Kota Bashrah dan Kuffah (Irak)
3. Kota Damsyik dan Palestina (Syam)
4. Kota Fistat (Mesir).
Pada masa itu pula timbullah madrasah, madrasah yang masih merupakan sekedar tempat memberikan pelajaran dalam bentuk khalaqah di masjid atau tempat pertemuan yang lain.
C. Madrasah-Madrasah yang Terkenal dan Para Tokohnya
1. Madrasah Makkah
Guru pertama yang mengajar di Makkah adalah Mu’ad bin Jabal, pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-86 H). Abdullah bin Abbas pergi ke Makkah, lalu dia mengajar tafsir, hadits, fiqih, dan sastra. Abdullah bin Abbas adalah pembangun madrasah Makkah. Di antara murid Ibn Abbas yang menggantikannya sebagai guru di madrasah Mekkah adalah Mujahid bin Jabar (seorang ahli tafsir al-Qur’an yang meriwayatkannya dari Ibn Abbas), Atak bin Abu Rabah (ahli dalam fiqh), dan Tawus bin Kaisan (seorang fuqaha) dan mufti di Makkah, dan seterusnya diwariskan kepada muridnya juga.
2. Madrasah Madinah
Di sinilah madrasah termasyhur, karena khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman serta banyak pula sahabat Nabi yang mengajar. Seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Umar. Zaid bin Sabit adalah seorang ahli qiraat dan fiqih, beliau mendapat tugas memimpin penulisan kembali al-Qur’an, baik di zaman Abu Bakar ataupun Usman bin Affan. Sedangkan Abdullah bin Umar adalah ahli hadits, beliau juga sebagai pelopor madzhab Ahl al-Hadits yang berkembang.
Adapun ulama-ulama sahabat yang gugur kemudian digantikan muridnya adalah :
a. Sa’ad bin Musyayab
b. Urwah bin al-Zubair bin al-Awwan.
3. Madrasah Bashrah
Ulama sahabat yang terkenal di Bashrah adalah Abu Musa al-Asy’ari (sebagai ahli fiqih, hadits dan ilmu al-Qur’an). Sedangkan Anas bin Malik (terkenal dalam ilmu Hadits), guru yang terkenal adalah Hasan al-Basari dan Ibn Sirin. Hasan al-Basri disamping seorang ahli fiqh, ahli pidato dan kisah, juga terkenal sebagai seorang ahli pikir dan ahli tasawuf. Ia dianggap sebagai perintis mazhab ahl as-sunnah dalam lapangan ilmu kalam. Sedangkan Ibn Sirin adalah seorang ahli hadits dan fiqh yang belajar langsung dari Zaid bin Sabit dan Anas bin Malik.
4. Madrasah Kufah
Di Kufah ada Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud. Ali bin Abi Thalib mengurus masalah politik dan urusan pemerintahan, sedangkan Abdullah bin Mas’ud sebagai guru agama. Ibn Mas’ud adalah utusan resmi khalifah Umar untuk menjadi guru agama di Kufah. Beliau adalah seorang ahli tafsir, ahli fiqh dan banyak meriwayatkan hadits Nabi saw, di antara murid Ibn Mas’ud yang terkenal adalah Alqamah, al-Aswad, Masruq, al-Haris bin Qais dan Amr bin Syurahbil. Madrasah Kufah ini kemudian melahirkan Abu Hanifah salah imam mazhab yang terkenal dengan penggunaan ra’yu dalam berijtihad.
5. Madrasah Fistat (Mesir)
Tokohnya Abdullah bin Amr bin al-As. Ia adalah seorang ahli hadits, ia tidak hanya menghafal hadits yang didengarnya dari Nabi Muhammad saw saja, melainkan juga menuliskannya dalam bentuk catatan, sehingga ia tidak lupa dalam meriwayatkan hadits kepada para muridnya. Guru termasyhur setelahnya adalah Yazid bin Abu Habib al-Huby dan Abdullah bin Abu Ja’far bin Rabi’ah. Di antara murid Yazid yang terkenal adalah Abdullah bin Lahi’ah dan al-Lais bin Sa’id.
D. Cara Pengajaran / Penyampaian Ilmunya
Ada empat orang Abdullah yang besar sekali jasanya dalam mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada muridnya, yaitu :
1) Abdullah bin Umar di Madinah
2) Abdullah bin Mas’ud di Kufah
3) Abdullah bin Abbas di Makkah
4) Abdullah bin Amr bin al-Ash di Mesir.
Sahabat-sahabat itu tidak menghafal semua perkataan Nabi dan tidak melihat semua perbuatannya. Dia hanya menghafal setengahnya. Maka oleh karena itu, kadang-kadang hadits yang diajarkan oleh ulama di Madinah belum tentu sama dengan hadits yang diajarkan ulama di Makkah. Oleh sebab itu, para pelajar harus belajar di luar negerinya untuk melanjutkan studi. Misalnya, pelajar Mesir melawat ke Madinah, pelajar Madinah melawat ke Kufah dan lain-lain seperti hadits Nabi :
طَلَبُ الْعِلْمِ وَلَوْ بِالسِّنّ
“Carilah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina”.
Yang dimaksud di sini adalah pengajaran ilmu al-Qur’an dan sunnahnya. Pada awalnya saat permulaan turunnya al-Qur’an Nabi mengajarkan Islam secara sembunyi-sembunyi. Mereka berkumpul membaca al-Qur’an dan memahami kandungan setiap ayat yang diturunkan Allah dengan jalan bertadarus.
Pengajaran al-Qur’an tersebut berlangsung terus sampai Nabi Muhammad saw bersama pada sahabatnya hijrah ke Madinah. Sejalan dengan itu, berpindahlah pusat pengajaran al-Qur’an ke Madinah. Penghafalan dan penulisan al-Qur’an berjalan terus sampai masa akhir turunnya. Dengan demikian al-Qur’an menjadi bagian dari kehidupan mereka. Selanjutnya untuk memantapkan al-Qur’an dalam hafalannya, Nabi Muhammad saw sering mengadakan ulangan terhadap hafalan-hafalan mereka.
Al-Qur’an adalah dasar pengajaran, fondasi semua kebiasaan yang akan dimiliki kelak. Sebabnya ialah segala yang diajarkan pada masa muda seseorang, berakar lebih dalam dari pada yang lainnya.
Sedangkan pada masa Khulafaur Rasyidin, cara pengajaran dan penyampaian ilmunya masih sama pada masa Nabi Muhammad saw, yaitu meneruskan jejak Nabi.
KESIMPULAN
Kesimpulannya bahwa sejarah pendidikan Islam di masa Rasul dan Khulafaur Rasyidin sangat menekankan pada pemahaman dan penghafalan al-Qur’an. Pada masa ini keilmuan yang berkembang belum terlalu meluas seperti pada masa setelahnya. Adapun cara pengajarannya sangat sederhana yaitu dengan bertatapan langsung antara pendidik dan peserta didiknya, sehingga pelajaran lebih cepat dipahami.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasjy, Muhammad Athijah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
Fadjar, Abdullah, Peradaban dan Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1991.
Fahmi, Asma Hasan, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Langgulung, Hasan, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988.
Nasr, Sayyed Hossein, Sains dan Peradaban di dalam Islam, Bandung: Penerbit Pustaka, 1986.
Zuharini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1986
Pembentukan moral yang tinggi adalah tujuan utama dari pendidikan Islam. Pada ulama telah berusaha menanamkan akhlak yang mulia, meresapkan fadhilah dalam jiwa manusia, membiasakan mereka berpegang teguh kepada moral yang tinggi dan menghindari hal-hal yang tercela. Ilmu di masa Rasul dan khalifah adalah suatu yang paling berharga di dunia. Sedangkan ulama yang beramal adalah pewaris para Nabi, seseorang tidak akan sanggup menjalankan mission (tugas-tugas) ilmiah kecuali bila ia berhias dengan akhlak yang tinggi, jiwanya bersih dari berbagai celaan. Dengan jalan ilmu dan amal serta kerja yang baik, rohani mereka meningkat naik mendekati Maha Pencipta yaitu Allah SWT.
Pendidikan Islam mengutamakan segi kerohanian dan moral, maka segi pendidikan mental, jasmani, matematik, ilmu sosial dan jurusan-jurusan praktis tidak diabaikan begitu saja, sehingga dengan demikian pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang komplit dan pendidikan tersebut telah meninggalkan bekas yang tidak dapat dibantah dibidang keimanan, aqidah dan pencapaian ilmu karena zat ilmiah itu sendiri. Pada masa Rasul telah memiliki perkembangan diberbagai bidang, misalnya ilmiah, kesusasteraan dan kebendaan, tetapi belum sampai ke tingkah rohaniah dan akhlak yang tinggi seperti yang pernah dicapai oleh kaum muslimin di masa kejayaannya.
A. Lembaga Pendidikan Pada Masa Rasul dan Khalifah
Adapun alasan yang muncul bagi penentuan ilmu, yang menuntutnya dijadikan tugas agama, satu hal yang pasti adalah bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan ucapan Rasul yang menekankan kepentingan belajar bersama fakta, bahwa simbol sentral dari wahyu Islam adalah sebuah kitab, menjadikan belajar tidak dapat dipisahkan dari agama yang menjadi tempat utama dimana pengajaran dilaksanakan dalam Islam adalah masjid, dan sejak dekade pertama sejarah Islam, lembaga pengajaran sebagian besar tetap tak dapat dipisahkan dari masjid dan biasanya dibiayai dengan shadaqah agama.
Masjid mulai berfungsi sebagai sekolah sejak pemerintahan khalifah kedua, yaitu “Umar” yang mengangkat “penutur” sebagai qashsh untuk masjid di kota-kota, umpama Kufa, Bashrah, dan Damsyik guna membacakan Qur’an dan hadits (sunnah Nabi), dari pengajaran awal dalam bahasa dan agama ini lahirlah sekolah dasar rakyat (Maktab) dan juga pusat pengajaran lanjutan, yang berkembang menjadi universitas-universitas pertama abad pertengahan, dan yang akan menjadi model bagi universitas permulaan di Eropa pada abad 11 dan ke-12.
Tujuan maktab yang masih bertahan di banyak bagian dunia Islam, yaitu memperkenalkan remaja dengan ilmu membaca, menulis, dan lebih khusus dengan prinsip-prinsip agama. Jadi maktab berfungsi disamping sebagai pusat pendidikan agama dan sastra bagi masyarakat umum, juga sebagai sesuatu yang lebih menarik bagi studi kita ini tingkat persiapan bagi lembaga pengajaran lanjutan, dimana sains diajarkan dan dikembangkan.
Pada masa ini pula, muncul kelompok tabi’in yang berguru pada lulusan awal, di antara yang paling terkenal adalah Rabi’ah al-Razi yang membuka pertemuan ilmiah di Masjid Nabawi, adapun murid-muridnya adalah Malik bin Anas al-Asbahi pengarang kitab “al-Muwatta” dan pendiri mazhab Maliki. Sedangkan ulama-ulama tabi’in adalah Sa’id bin al-Musayyab, Urwah bin al-Zubair, Salim Mawla bin Umar dan lain-lain. Di antara yang belajar pada Ibnu Abbas adalah Mujahid (w. 105 H), Sa’id bin Jubair (w. 94 H), Ikrimah Mawla ibn Abbas, Tawus al-Yammani, ‘Ata bin Abi Rabah, semuanya dari Mekah. Di antara tabi’in itu juga adalah al-Hasan al-Basri yang belajar pada Rabi’ah al-Ra’y di Madinah, kemudian kembali ke Bashrah yang dikunjungi oleh penuntut-penuntut ilmu dari seluruh pelosok negeri Islam.
Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam
Ketika agama Islam diturunkan Allah, sudah ada di antara para sahabat yang pandai tulis baca. Kemudian tulis baca tersebut ternyata mendapat tempat dan dorongan yang kuat dalam Islam, sehingga berkembang luas di kalangan umat Islam. Ayat al-Qur’an yang pertama diturunkan, telah memerintahkan untuk membaca dan memberikan gambaran bahwa kepandaian membaca dan menulis merupakan sarana utama dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam. Kepandaian tulis baca dalam kehidupan sosial dan politik umat Islam ternyata memegang peranan penting, sejak nama Nabi Muhammad saw digunakan sebagai media komunikasi dakwah kepada bangsa-bangsa di luar bangsa Arab, dan dalam menuliskan berbagai macam perjanjian. Pada masa Khulafaur Rasyidin dan masa-masa selanjutnya tulis baca digunakan dalam komunikasi ilmiah dan berbagai buku ilmu pengetahuan. Karena tulis baca semakin terasa perlu, maka maktab berbagai tempat belajar, menulis dan membaca, terutama bagi anak-anak, berkembang dengan pesat. Pada mulanya, di awal perkembangan Islam maktab tersebut dilaksanakan di rumah guru-guru yang bersangkutan dan yang diajarkan adalah semata-mata menulis dan membaca, sedangkan yang ditulis atau dibaca adalah syair-syair yang terkenal pada masanya.
Lembaga Pendidikan Islam Sebelum Berdirinya Sekolah
Amalan Rasulullah saw diikuti oleh para sahabat dan pengikut-pengikutnya dan juga kaum muslimin kemudian semakin berkembang negara Islam, semakin banyak pula masjid didirikan untuk memainkan peranannya yang penting dalam masyarakat. Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, negeri Parsi, Syam, Mesir dan seluruh semenanjung tanah Arab ditaklukkan, masjid-masjid didirikan di semua kampung sebagai tempat ibadah dan pusat pendidikan Islam.
B. Pusat Pendidikan Islam Pada Masa Rasul dan Khalifah
Bahwa meluasnya daerah kekuasaan Islam dibarengi dengan usaha penyampaian ajaran Islam kepada penduduknya oleh para sahabat, baik yang ikut sebagai anggota pasukan maupun yang kemudian dikirim oleh khalifah dengan tugas khusus mengajar dan mendidik, maka di luar Madinah, dipusat-pusat wilayah yang baru dikuasai, berdirilah pusat pendidikan dibawah pengurusan para sahabat yang kemudian dikembangkan oleh para tabi’in.
Mahmud Yunus dalam bukunya “Sejarah Pendidikan Islam” menerangkan bahwa pusat pendidikan tersebar di kota-kota besar seperti:
1. Kota Makkah dan Madinah (Hijaz)
2. Kota Bashrah dan Kuffah (Irak)
3. Kota Damsyik dan Palestina (Syam)
4. Kota Fistat (Mesir).
Pada masa itu pula timbullah madrasah, madrasah yang masih merupakan sekedar tempat memberikan pelajaran dalam bentuk khalaqah di masjid atau tempat pertemuan yang lain.
C. Madrasah-Madrasah yang Terkenal dan Para Tokohnya
1. Madrasah Makkah
Guru pertama yang mengajar di Makkah adalah Mu’ad bin Jabal, pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-86 H). Abdullah bin Abbas pergi ke Makkah, lalu dia mengajar tafsir, hadits, fiqih, dan sastra. Abdullah bin Abbas adalah pembangun madrasah Makkah. Di antara murid Ibn Abbas yang menggantikannya sebagai guru di madrasah Mekkah adalah Mujahid bin Jabar (seorang ahli tafsir al-Qur’an yang meriwayatkannya dari Ibn Abbas), Atak bin Abu Rabah (ahli dalam fiqh), dan Tawus bin Kaisan (seorang fuqaha) dan mufti di Makkah, dan seterusnya diwariskan kepada muridnya juga.
2. Madrasah Madinah
Di sinilah madrasah termasyhur, karena khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman serta banyak pula sahabat Nabi yang mengajar. Seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Umar. Zaid bin Sabit adalah seorang ahli qiraat dan fiqih, beliau mendapat tugas memimpin penulisan kembali al-Qur’an, baik di zaman Abu Bakar ataupun Usman bin Affan. Sedangkan Abdullah bin Umar adalah ahli hadits, beliau juga sebagai pelopor madzhab Ahl al-Hadits yang berkembang.
Adapun ulama-ulama sahabat yang gugur kemudian digantikan muridnya adalah :
a. Sa’ad bin Musyayab
b. Urwah bin al-Zubair bin al-Awwan.
3. Madrasah Bashrah
Ulama sahabat yang terkenal di Bashrah adalah Abu Musa al-Asy’ari (sebagai ahli fiqih, hadits dan ilmu al-Qur’an). Sedangkan Anas bin Malik (terkenal dalam ilmu Hadits), guru yang terkenal adalah Hasan al-Basari dan Ibn Sirin. Hasan al-Basri disamping seorang ahli fiqh, ahli pidato dan kisah, juga terkenal sebagai seorang ahli pikir dan ahli tasawuf. Ia dianggap sebagai perintis mazhab ahl as-sunnah dalam lapangan ilmu kalam. Sedangkan Ibn Sirin adalah seorang ahli hadits dan fiqh yang belajar langsung dari Zaid bin Sabit dan Anas bin Malik.
4. Madrasah Kufah
Di Kufah ada Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud. Ali bin Abi Thalib mengurus masalah politik dan urusan pemerintahan, sedangkan Abdullah bin Mas’ud sebagai guru agama. Ibn Mas’ud adalah utusan resmi khalifah Umar untuk menjadi guru agama di Kufah. Beliau adalah seorang ahli tafsir, ahli fiqh dan banyak meriwayatkan hadits Nabi saw, di antara murid Ibn Mas’ud yang terkenal adalah Alqamah, al-Aswad, Masruq, al-Haris bin Qais dan Amr bin Syurahbil. Madrasah Kufah ini kemudian melahirkan Abu Hanifah salah imam mazhab yang terkenal dengan penggunaan ra’yu dalam berijtihad.
5. Madrasah Fistat (Mesir)
Tokohnya Abdullah bin Amr bin al-As. Ia adalah seorang ahli hadits, ia tidak hanya menghafal hadits yang didengarnya dari Nabi Muhammad saw saja, melainkan juga menuliskannya dalam bentuk catatan, sehingga ia tidak lupa dalam meriwayatkan hadits kepada para muridnya. Guru termasyhur setelahnya adalah Yazid bin Abu Habib al-Huby dan Abdullah bin Abu Ja’far bin Rabi’ah. Di antara murid Yazid yang terkenal adalah Abdullah bin Lahi’ah dan al-Lais bin Sa’id.
D. Cara Pengajaran / Penyampaian Ilmunya
Ada empat orang Abdullah yang besar sekali jasanya dalam mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada muridnya, yaitu :
1) Abdullah bin Umar di Madinah
2) Abdullah bin Mas’ud di Kufah
3) Abdullah bin Abbas di Makkah
4) Abdullah bin Amr bin al-Ash di Mesir.
Sahabat-sahabat itu tidak menghafal semua perkataan Nabi dan tidak melihat semua perbuatannya. Dia hanya menghafal setengahnya. Maka oleh karena itu, kadang-kadang hadits yang diajarkan oleh ulama di Madinah belum tentu sama dengan hadits yang diajarkan ulama di Makkah. Oleh sebab itu, para pelajar harus belajar di luar negerinya untuk melanjutkan studi. Misalnya, pelajar Mesir melawat ke Madinah, pelajar Madinah melawat ke Kufah dan lain-lain seperti hadits Nabi :
طَلَبُ الْعِلْمِ وَلَوْ بِالسِّنّ
“Carilah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina”.
Yang dimaksud di sini adalah pengajaran ilmu al-Qur’an dan sunnahnya. Pada awalnya saat permulaan turunnya al-Qur’an Nabi mengajarkan Islam secara sembunyi-sembunyi. Mereka berkumpul membaca al-Qur’an dan memahami kandungan setiap ayat yang diturunkan Allah dengan jalan bertadarus.
Pengajaran al-Qur’an tersebut berlangsung terus sampai Nabi Muhammad saw bersama pada sahabatnya hijrah ke Madinah. Sejalan dengan itu, berpindahlah pusat pengajaran al-Qur’an ke Madinah. Penghafalan dan penulisan al-Qur’an berjalan terus sampai masa akhir turunnya. Dengan demikian al-Qur’an menjadi bagian dari kehidupan mereka. Selanjutnya untuk memantapkan al-Qur’an dalam hafalannya, Nabi Muhammad saw sering mengadakan ulangan terhadap hafalan-hafalan mereka.
Al-Qur’an adalah dasar pengajaran, fondasi semua kebiasaan yang akan dimiliki kelak. Sebabnya ialah segala yang diajarkan pada masa muda seseorang, berakar lebih dalam dari pada yang lainnya.
Sedangkan pada masa Khulafaur Rasyidin, cara pengajaran dan penyampaian ilmunya masih sama pada masa Nabi Muhammad saw, yaitu meneruskan jejak Nabi.
KESIMPULAN
Kesimpulannya bahwa sejarah pendidikan Islam di masa Rasul dan Khulafaur Rasyidin sangat menekankan pada pemahaman dan penghafalan al-Qur’an. Pada masa ini keilmuan yang berkembang belum terlalu meluas seperti pada masa setelahnya. Adapun cara pengajarannya sangat sederhana yaitu dengan bertatapan langsung antara pendidik dan peserta didiknya, sehingga pelajaran lebih cepat dipahami.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasjy, Muhammad Athijah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
Fadjar, Abdullah, Peradaban dan Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1991.
Fahmi, Asma Hasan, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Langgulung, Hasan, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988.
Nasr, Sayyed Hossein, Sains dan Peradaban di dalam Islam, Bandung: Penerbit Pustaka, 1986.
Zuharini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1986
Islam Mencakup 3 Tingkatan
Rosululloh shollallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah didatangi malaikat Jibril dalam wujud seorang lelaki yang tidak dikenali jatidirinya oleh para sahabat yang ada pada saat itu, dia menanyakan kepada beliau tentang Islam, Iman dan Ihsan. Setelah beliau menjawab berbagai pertanyaan Jibril dan dia pun telah meninggalkan mereka, maka pada suatu kesempatan Rosululloh bertanya kepada sahabat Umar bin Khoththob, “Wahai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya itu ?” Maka Umar menjawab, “Alloh dan Rosul-Nya lah yang lebih tahu”. Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya dia itu adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” (HR. Muslim). Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan: Di dalam (penggalan) hadits ini terdapat dalil bahwasanya Iman, Islam dan Ihsan semuanya diberi nama ad din/agama (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 23). Jadi agama Islam yang kita anut ini mencakup 3 tingkatan; Islam, Iman dan Ihsan.
1. Tingkatan Islam
Di dalam hadits tersebut, ketika Rosululloh ditanya tentang Islam beliau menjawab, “Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, engkau dirikan sholat, tunaikan zakat, berpuasa romadhon dan berhaji ke Baitulloh jika engkau mampu untuk menempuh perjalanan ke sana”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini ialah bahwa Islam itu terdiri dari 5 rukun (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 14). Jadi Islam yang dimaksud disini adalah amalan-amalan lahiriyah yang meliputi syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.
2. Tingkatan Iman
Selanjutnya Nabi ditanya mengenai iman. Beliau bersabda, “Iman itu ialah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rosul-Nya, hari akhir dan engkau beriman terhadap qodho’ dan qodar; yang baik maupun yang buruk”. Jadi Iman yang dimaksud disini mencakup perkara-perkara batiniyah yang ada di dalam hati. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah pembedaan antara islam dan iman, ini terjadi apabila kedua-duanya disebutkan secara bersama-sama, maka ketika itu islam ditafsirkan dengan amalan-amalan anggota badan sedangkan iman ditafsirkan dengan amalan-amalan hati, akan tetapi bila sebutkan secara mutlak salah satunya (islam saja atau iman saja) maka sudah mencakup yang lainnya. Seperti dalam firman Allah Ta’ala, “Dan Aku telah ridho Islam menjadi agama kalian.” (Al Ma’idah : 3) maka kata Islam di sini sudah mencakup islam dan iman… (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 17).
3. Tingkatan Ihsan
Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi bersabda, “Yaitu engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila kamu tidak bisa (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan yaitu seorang manusia menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi rasa harap dan keinginan, seolah-olah dia melihat-Nya sehingga diapun sangat ingin sampai kepada-Nya, dan ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila dia tidak bisa mencapai kondisi semacam ini maka hendaknya dia berada di derajat kedua yaitu: menyembah kepada Allah dengan ibadah yang dipenuhi rasa takut dan cemas dari tertimpa siksa-Nya, oleh karena itulah Nabi bersabda, “Jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu” artinya jika kamu tidak mampu menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 21). Jadi tingkatan ihsan ini mencakup perkara lahir maupun batin.
BAGAIMANA MENGKOMPROMIKAN KETIGA ISTILAH INI?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan yang maknanya, Bila dibandingkan dengan iman maka Ihsan itu lebih luas cakupannya bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada iman bila ditinjau dari orang yang sampai pada derajat ihsan. Sedangkan iman itu lebih luas daripada islam bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada islam bila ditinjau dari orang yang mencapai derajat iman. Maka di dalam sikap ihsan sudah terkumpul di dalamnya iman dan islam. Sehingga orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan orang-orang mu’min yang lain, dan orang yang mu’min itu juga lebih istimewa dibandingkan orang-orang muslim yang lain… (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 63)
KESIMPULANDari hadits serta penjelasan di atas maka teranglah bagi kita bahwasanya pembagian agama ini menjadi tingkatan Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat tidaklah dikenal oleh para ulama baik di kalangan sahabat, tabi’in maupun tabi’ut tabi’in; generasi terbaik ummat ini. Pembagian yang syar’i adalah sebagaimana disampaikan oleh Nabi yaitu islam, iman dan ihsan dengan penjelasan sebagaimana di atas. Maka ini menunjukkan pula kepada kita alangkah berbahayanya pemahaman sufi semacam itu. Lalu bagaimana mungkin mereka bisa mencapai keridhoan Alloh Ta’ala kalau cara beribadah yang mereka tempuh justeru menyimpang dari petunjuk Rosululloh ? Alangkah benar Nabi yang telah bersabda, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim). Barangsiapa yang ingin mencapai derajat muhsin maka dia pun harus muslim dan mu’min. Tidak sebagaimana anggapan tarekat sufiyah yang membolehkan orang yang telah mencapai Ma’rifat untuk meninggalkan syari’at. Wallohu a’lam.
Rosululloh shollallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah didatangi malaikat Jibril dalam wujud seorang lelaki yang tidak dikenali jatidirinya oleh para sahabat yang ada pada saat itu, dia menanyakan kepada beliau tentang Islam, Iman dan Ihsan. Setelah beliau menjawab berbagai pertanyaan Jibril dan dia pun telah meninggalkan mereka, maka pada suatu kesempatan Rosululloh bertanya kepada sahabat Umar bin Khoththob, “Wahai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya itu ?” Maka Umar menjawab, “Alloh dan Rosul-Nya lah yang lebih tahu”. Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya dia itu adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” (HR. Muslim). Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan: Di dalam (penggalan) hadits ini terdapat dalil bahwasanya Iman, Islam dan Ihsan semuanya diberi nama ad din/agama (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 23). Jadi agama Islam yang kita anut ini mencakup 3 tingkatan; Islam, Iman dan Ihsan.
1. Tingkatan Islam
Di dalam hadits tersebut, ketika Rosululloh ditanya tentang Islam beliau menjawab, “Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, engkau dirikan sholat, tunaikan zakat, berpuasa romadhon dan berhaji ke Baitulloh jika engkau mampu untuk menempuh perjalanan ke sana”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini ialah bahwa Islam itu terdiri dari 5 rukun (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 14). Jadi Islam yang dimaksud disini adalah amalan-amalan lahiriyah yang meliputi syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.
2. Tingkatan Iman
Selanjutnya Nabi ditanya mengenai iman. Beliau bersabda, “Iman itu ialah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rosul-Nya, hari akhir dan engkau beriman terhadap qodho’ dan qodar; yang baik maupun yang buruk”. Jadi Iman yang dimaksud disini mencakup perkara-perkara batiniyah yang ada di dalam hati. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah pembedaan antara islam dan iman, ini terjadi apabila kedua-duanya disebutkan secara bersama-sama, maka ketika itu islam ditafsirkan dengan amalan-amalan anggota badan sedangkan iman ditafsirkan dengan amalan-amalan hati, akan tetapi bila sebutkan secara mutlak salah satunya (islam saja atau iman saja) maka sudah mencakup yang lainnya. Seperti dalam firman Allah Ta’ala, “Dan Aku telah ridho Islam menjadi agama kalian.” (Al Ma’idah : 3) maka kata Islam di sini sudah mencakup islam dan iman… (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 17).
3. Tingkatan Ihsan
Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi bersabda, “Yaitu engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila kamu tidak bisa (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan yaitu seorang manusia menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi rasa harap dan keinginan, seolah-olah dia melihat-Nya sehingga diapun sangat ingin sampai kepada-Nya, dan ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila dia tidak bisa mencapai kondisi semacam ini maka hendaknya dia berada di derajat kedua yaitu: menyembah kepada Allah dengan ibadah yang dipenuhi rasa takut dan cemas dari tertimpa siksa-Nya, oleh karena itulah Nabi bersabda, “Jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu” artinya jika kamu tidak mampu menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 21). Jadi tingkatan ihsan ini mencakup perkara lahir maupun batin.
BAGAIMANA MENGKOMPROMIKAN KETIGA ISTILAH INI?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan yang maknanya, Bila dibandingkan dengan iman maka Ihsan itu lebih luas cakupannya bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada iman bila ditinjau dari orang yang sampai pada derajat ihsan. Sedangkan iman itu lebih luas daripada islam bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada islam bila ditinjau dari orang yang mencapai derajat iman. Maka di dalam sikap ihsan sudah terkumpul di dalamnya iman dan islam. Sehingga orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan orang-orang mu’min yang lain, dan orang yang mu’min itu juga lebih istimewa dibandingkan orang-orang muslim yang lain… (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 63)
KESIMPULANDari hadits serta penjelasan di atas maka teranglah bagi kita bahwasanya pembagian agama ini menjadi tingkatan Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat tidaklah dikenal oleh para ulama baik di kalangan sahabat, tabi’in maupun tabi’ut tabi’in; generasi terbaik ummat ini. Pembagian yang syar’i adalah sebagaimana disampaikan oleh Nabi yaitu islam, iman dan ihsan dengan penjelasan sebagaimana di atas. Maka ini menunjukkan pula kepada kita alangkah berbahayanya pemahaman sufi semacam itu. Lalu bagaimana mungkin mereka bisa mencapai keridhoan Alloh Ta’ala kalau cara beribadah yang mereka tempuh justeru menyimpang dari petunjuk Rosululloh ? Alangkah benar Nabi yang telah bersabda, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim). Barangsiapa yang ingin mencapai derajat muhsin maka dia pun harus muslim dan mu’min. Tidak sebagaimana anggapan tarekat sufiyah yang membolehkan orang yang telah mencapai Ma’rifat untuk meninggalkan syari’at. Wallohu a’lam.
Pendahuluan
Dalam abad ke 20 ini, di satu pihak orang mengamati kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang sangat pesat dan mendalam, namun bersamaan dengan itu dipihak lain orang mengamati dekadensi kehidupan beragama dikalangan umat manusia. Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tampak jelas memberikan buah yang sangat menyenangkan bagi kehidupan lahiriyah umat manusia secara luas. Dan manusia merasa telah mampu mengeksploitasi kekayaan-kekayaan dunia secara besar-besaran.[1]
Kemajuan ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologi kurun ini, secara bertahap tapi pasti membuktikan bahwa ayat-ayat al-Qur'an itu benar dan mengagumkan. Sejak bentuk tulisan yang paling primitif dengan bahan kertas yang amat sederhana manusia memulai abad-abad yang gemerlapan oleh sinar ilmu pengetahuan itu, manusia telah menulis berjuta-juta buku, dan dapat menyelesaikan penulisan beribu-ribu kata dalam waktu yang amat singkat. Dna yang paling aktual serta masih mengagumkan di kalangan manusia adalah penemuan alat “komputer” yang begitu besar manfaatnya.[2]
B. Pembahasan
1. Pandangan Islam terhadap Ilmu
Sepanjang yang kita ketahui, rasanya belum ada sesuatu agamapun yang melampaui dalamnya pandangan terhadap ilmu pengetahuan sebagaimana pandangan yang diberikan Islam. Islam sangat gigih dalam mendorong umat manusia untuk mencari ilmu dan mendudukkannya, sebagai sesuatu yang utama dan mulia.
Sejak awal turunnya wahyu kepada Muhammad Saw (al-Qur'an), masalah ilmu pengetahuan merupakan pangkal perintah Allah kepada manusia. Perintah membaca merupakan kunci mencari dan mengulas ilmu pengetahuan itu, “membaca” apakah yang hendak dibaca tanpa ada sesuatu yang tersurat? Dan ini merangsang manusia untuk giat menulis, meneliti, mengobservasi, menganalisis, dan kemudian merumuskannya sebagai teori ilmu, membacapun tak dapat jalan tanpa memiliki pengetahuan membaca dan ketrampilan bahasa dan pandai menulis adalah rangkaian dari sarana dalam rangka menimba ilmu pengetahuan itu.
Dari sini kita dapat mengambil pengertian bahwa Allah benar-benar menyatakan betapa tingginya nilai ilmu itu. Karena itu Allah meninggikan kedudukan orang-orang yang berilmu, baik disisi Allah maupun disisi manusia.
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan”. (QS. 58 : 11).[3]
2. Ilmu Pengetahuan di Tengah Umat Islam
Banyak sekali ilmuwan Islam dengan karya-karya mereka dengan besar, yang pengaruh hasil karya ilmiahnya masih dirasakan hingga berabad-abad kemudian di dalam perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa. Para cendekiawan barat mengakui bahwa Jabir ibn Hayyam (721-815) adalah orang pertama yang menggunakan metode ilmiah dalam kegiatan penelitiannya dalam alkemi yang kemudian oleh ilmuwan barat diambil alih serta dikembangkan menjadi apa yang kita kenal sekarang sebagai ilmu kimia.
Di dalam sejarah ilmu pengetahuan yang ditulis oleh sarjana Eropa disebutkan bahwa Muhammad ibn Zakaria ar-Rozi (865-925) telah menggunakan alat-alat khusus untuk melakukan proses-proses yang lazim dilakukan ahli kimia seperti distalasi, kristalisasi, kalsinasi dan sebagainya.
Sekitar tahun 1231 ketika Henrick Harpestraeng, orang yang kemudian menjadi dokter istana raja Eric II Walder Marsson, berusaha menulis risalah kedokteran dalam ilmu bedah di Salerno ia meminta bantuan Michael the Schott bekas mahasiswa dari Universitas Islam di Toledo, untuk dapat menggunakan buku-buku standar ar-Rozi dan Ibn Sina yang berbahasa Arab tersebut sebagai sumber.
Profesor Fuad Sezgin guru besar sejarah Universitas Frankfurt, telah menulis dua puluh jilid buku tentang karya-karya Ilmuwan muslim zaman lalu yang diberi judul “Geschichte des Arabis Chen Schriftums”, dan memberikan komentar tentang pengaruhnya pada ilmuwan Eropa kemudian, serta pembajakan-pembajakan naskah yang disalin dari bahasa arab kemudian diakui sebagai karya ilmiah penyalin.[4]
3. Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Sebagai makhluk yang diberi kelebihan-kelebihan, manusia dijadikan penguasa di bumi dengan tugas, kewajiban serta tanggung jawabnya, dia harus melalukan pengelolaan yang baik untuk itu ia harus mengetahui dan memahami benar-benar sifat dan kelakuan alam sekitarnya yang harus dikelolanya itu, baik yang tak bernyawa maupun yang hidup beserta masyarakatnya, pengetahuan dan pemahaman ini dapat diperolehnya karena manusia hidup di dalam, dan dapat menginderakan alam fisis di sekelilingnya. Dan diharapkan orang dapat memperoleh pengetahuan yang berguna baginya dalam menjalankan peranannya sebagai khalifah di bumi.
Pemeriksaan dengan perhatian yang besar untuk mengetahui sesuatu memerlukan observasi yang berulang-ulang secara teliti serta pengumpulan data secara sistematis yang kemudian dianalisis untuk memperoleh suatu kesimpulan tentang apa yang diperiksa itu untuk dihimpun sebagai pengetahuan, tetapi analisis terhadap suatu himpunan data untuk mencapai kesimpulan itu memerlukan kemampuan berfikir secara kritis. Namun untuk sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang dapat dihimpun menjadi suatu sistem yang logis atau kesatuan yang rasional yang kita sebut ilmu pengetahuan perlu digunakan pertimbangan yang melibatkan akal. Dan hal inipun diungkapkan dalam ayat lanjutannya yaitu ayat 12 surat an-Nahl yang artinya:
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya)”
Dalam abad-abad yang lalu umat Islam hanya dapat meraba serta menerka saja jawabannya, maka kita yang hidup dalam abad ke-20 ini telah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana teknologi propulsi roket dan pengendalian elektronik yang canggih telah berhasil melontarkan manusia sampai ke permukaan bulan dan mengembalikannya ke bumi serta mengirimkan pesawat antariksa yang masing-masing mempunyai misi tertentu ke planet dalam tata surya kita.[5]
4. Jenis-Jenis Pengetahuan
Di kalangan masyarakat awam, kita akan menemukan bermacam-macam pengetahuan dan kepercayaan. Burung hantu yang berteriak di malam hari ada yang mempercayai sebagai pertanda munculnya malapetaka, pelangi dianggap tangga bidadari yang sedang turun mandi. Orang yang mempunyai ilmu, sehingga tidak mempan di tembak dengan peluru / pedang dan masih banyak lagi penjelasan kepercayaan yang kita temukan dalam masyarakat.
Berdasarkan pada hal-hal yang kita sebutkan di atas maka pengetahuan manusia dapat digolongkan atas 4 jenis pengetahuan.
a. Pengetahuan takhayul / mitos
Mitos adalah suatu penjelasan atas fakta yang tidak ada kebenarannya, hanya didengar dan dipercaya begitu saja. Ada juga yang disebut legenda yaitu ceritera rakyat yang berdasarkan mitos.
Contohnya: pada zaman dahulu orang percaya bahwa pelangi dianggap tangga bidadari yang sedang turun mandi, bunyi burung hantu dianggap pertanda munculnya bencana, kaisar Jepang adalah keturunan dewa matahari.
b. Pengetahuan ilmiah
Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah (penelitian) dengan pengamatan panca indra dan penalaran akal budi yang disusun secara sistematika untuk menjelaskan fakta yang sedang dihadapi, yang merangsang panca indra dan pikiran manusia.
Pengetahuan ilmiah dapat dibagi lagi seperti berikut:
Pengetahuan ilmiah :
Fakta objektif benar
Tafsiran fakta ---> Benar, objektif
---> Salah, objektif
Manusia berhadapan dengan fakta alam semesta, makhluk hidup atau benda mati, kemudian manusia menjelaskan fakta itu / memberi tafsiran pada fakta objektif yang tidak dapat dibantah lagi. Misalnya hukum Archimedes, yang menyatakan bahwa benda padat yang tercelup dalam fluida, berkurang beratnya sebesar zat fluida yang dipindahkannya.
c. Pengetahuan supernatural
Pengetahuan supernatural adalah pengetahuan yang tidak termasuk pada takhayul dan pengetahuan ilmiah, namun mempunyai fakta pengetahuan supernatural tidak dapat dijangkau dengan panca indra maupun akal budi, sifatnya transrasional (di luar jangkauan akal budi). Karena itu pengetahuan ini tidak ditanggapi dengan akal budi dan bukan objek pengetahuan ilmiah dan IPA, tetapi masalah percaya, ditanggapi dengan iman, believe it or not yang sifatnya sangat pribadi dan menyangkut hak-hak azasi manusia.
d. Pengetahuan ilmiah semu (pseudo science)
Pengetahuan ilmiah semu adalah pengetahuan yang berdasarkan fakta ilmiah tetapi dicampur dengan kepercayaan dan hal-hal yang bersifat supernatural. Bangsa Babilonia kira-kira 2500 SM, dalam menyembuhkan penyakit disamping obat juga menggunakan mantra. Bangsa babilonia juga ahli dalam ilmu perbintangan dan memberikan nama pada rasi bintang menurut nama-nama binatang seperti Leo, Scorpio, Pisces, dan sebagainya. Ilmu perbintangan yang dihubungkan dengan kepercayaan ramalan ramalan nasib disebut astrologi. Astrologi bukan pengetahuan ilmiah melainkan pseudo science.[6]
C. Kesimpulan
Dari rangkaian kegiatan mulai dari observasi dan pengukuran yang dilakukan dalam pemeriksaan yang diperintahkan Allah Swt itu, dan penggunaan akal serta pikiran untuk menganalisa data untuk sampai pada kesimpulan yang rasional itulah kegiatan utama dari pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya. Ia bersifat empiris / eksperimental.
Dan dengan semakin majunya turut pemikiran dan kebudayaan, ada manusia yang tidak percaya lagi kepada hal-hal yang bersifat supernatural, tidak percaya kepada ajaran agama, mereka hanya mengandalkan solusi dari IPTEK untuk mengatasi masalah kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Ir. R. H. A. Sahirul Alim, M.Sc. Menguak Keterpaduan Sains, Teknologi dan Islam, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1999.
Drs. Kaelany HD, MA., Islam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, PT. Bumi Aksara, Jakrta, 2000.
Prof. Achmad Baiquni, M.Sc., Al-Qur'an dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, PT. Dana Bakti Primayasa, Yogyakarta, 1994.
Drs. Amin Suyitno, M.Pd., Ilmu Alamiah Dasar, Semarang, 2002.
[1] Ir. R. H. A. Sahirul Alim, M.Sc. Menguak Keterpaduan Sains, Teknologi dan Islam, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1999, hal. 67.
[2] Drs. Kaelany HD, MA., Islam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, PT. Bumi Aksara, Jakrta, 2000, hal. 225.
[3] Ibid., hlm. 224.
[4] Prof. Achmad Baiquni, M.Sc., Al-Qur'an dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, PT. Dana Bakti Primayasa, Yogyakarta, 1994, hal. 120.
[5] Ibid., hlm. 68.
[6] Drs. Amin Suyitno, M.Pd., Ilmu Alamiah Dasar, Semarang, 2002
Dalam abad ke 20 ini, di satu pihak orang mengamati kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang sangat pesat dan mendalam, namun bersamaan dengan itu dipihak lain orang mengamati dekadensi kehidupan beragama dikalangan umat manusia. Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tampak jelas memberikan buah yang sangat menyenangkan bagi kehidupan lahiriyah umat manusia secara luas. Dan manusia merasa telah mampu mengeksploitasi kekayaan-kekayaan dunia secara besar-besaran.[1]
Kemajuan ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologi kurun ini, secara bertahap tapi pasti membuktikan bahwa ayat-ayat al-Qur'an itu benar dan mengagumkan. Sejak bentuk tulisan yang paling primitif dengan bahan kertas yang amat sederhana manusia memulai abad-abad yang gemerlapan oleh sinar ilmu pengetahuan itu, manusia telah menulis berjuta-juta buku, dan dapat menyelesaikan penulisan beribu-ribu kata dalam waktu yang amat singkat. Dna yang paling aktual serta masih mengagumkan di kalangan manusia adalah penemuan alat “komputer” yang begitu besar manfaatnya.[2]
B. Pembahasan
1. Pandangan Islam terhadap Ilmu
Sepanjang yang kita ketahui, rasanya belum ada sesuatu agamapun yang melampaui dalamnya pandangan terhadap ilmu pengetahuan sebagaimana pandangan yang diberikan Islam. Islam sangat gigih dalam mendorong umat manusia untuk mencari ilmu dan mendudukkannya, sebagai sesuatu yang utama dan mulia.
Sejak awal turunnya wahyu kepada Muhammad Saw (al-Qur'an), masalah ilmu pengetahuan merupakan pangkal perintah Allah kepada manusia. Perintah membaca merupakan kunci mencari dan mengulas ilmu pengetahuan itu, “membaca” apakah yang hendak dibaca tanpa ada sesuatu yang tersurat? Dan ini merangsang manusia untuk giat menulis, meneliti, mengobservasi, menganalisis, dan kemudian merumuskannya sebagai teori ilmu, membacapun tak dapat jalan tanpa memiliki pengetahuan membaca dan ketrampilan bahasa dan pandai menulis adalah rangkaian dari sarana dalam rangka menimba ilmu pengetahuan itu.
Dari sini kita dapat mengambil pengertian bahwa Allah benar-benar menyatakan betapa tingginya nilai ilmu itu. Karena itu Allah meninggikan kedudukan orang-orang yang berilmu, baik disisi Allah maupun disisi manusia.
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan”. (QS. 58 : 11).[3]
2. Ilmu Pengetahuan di Tengah Umat Islam
Banyak sekali ilmuwan Islam dengan karya-karya mereka dengan besar, yang pengaruh hasil karya ilmiahnya masih dirasakan hingga berabad-abad kemudian di dalam perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa. Para cendekiawan barat mengakui bahwa Jabir ibn Hayyam (721-815) adalah orang pertama yang menggunakan metode ilmiah dalam kegiatan penelitiannya dalam alkemi yang kemudian oleh ilmuwan barat diambil alih serta dikembangkan menjadi apa yang kita kenal sekarang sebagai ilmu kimia.
Di dalam sejarah ilmu pengetahuan yang ditulis oleh sarjana Eropa disebutkan bahwa Muhammad ibn Zakaria ar-Rozi (865-925) telah menggunakan alat-alat khusus untuk melakukan proses-proses yang lazim dilakukan ahli kimia seperti distalasi, kristalisasi, kalsinasi dan sebagainya.
Sekitar tahun 1231 ketika Henrick Harpestraeng, orang yang kemudian menjadi dokter istana raja Eric II Walder Marsson, berusaha menulis risalah kedokteran dalam ilmu bedah di Salerno ia meminta bantuan Michael the Schott bekas mahasiswa dari Universitas Islam di Toledo, untuk dapat menggunakan buku-buku standar ar-Rozi dan Ibn Sina yang berbahasa Arab tersebut sebagai sumber.
Profesor Fuad Sezgin guru besar sejarah Universitas Frankfurt, telah menulis dua puluh jilid buku tentang karya-karya Ilmuwan muslim zaman lalu yang diberi judul “Geschichte des Arabis Chen Schriftums”, dan memberikan komentar tentang pengaruhnya pada ilmuwan Eropa kemudian, serta pembajakan-pembajakan naskah yang disalin dari bahasa arab kemudian diakui sebagai karya ilmiah penyalin.[4]
3. Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Sebagai makhluk yang diberi kelebihan-kelebihan, manusia dijadikan penguasa di bumi dengan tugas, kewajiban serta tanggung jawabnya, dia harus melalukan pengelolaan yang baik untuk itu ia harus mengetahui dan memahami benar-benar sifat dan kelakuan alam sekitarnya yang harus dikelolanya itu, baik yang tak bernyawa maupun yang hidup beserta masyarakatnya, pengetahuan dan pemahaman ini dapat diperolehnya karena manusia hidup di dalam, dan dapat menginderakan alam fisis di sekelilingnya. Dan diharapkan orang dapat memperoleh pengetahuan yang berguna baginya dalam menjalankan peranannya sebagai khalifah di bumi.
Pemeriksaan dengan perhatian yang besar untuk mengetahui sesuatu memerlukan observasi yang berulang-ulang secara teliti serta pengumpulan data secara sistematis yang kemudian dianalisis untuk memperoleh suatu kesimpulan tentang apa yang diperiksa itu untuk dihimpun sebagai pengetahuan, tetapi analisis terhadap suatu himpunan data untuk mencapai kesimpulan itu memerlukan kemampuan berfikir secara kritis. Namun untuk sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang dapat dihimpun menjadi suatu sistem yang logis atau kesatuan yang rasional yang kita sebut ilmu pengetahuan perlu digunakan pertimbangan yang melibatkan akal. Dan hal inipun diungkapkan dalam ayat lanjutannya yaitu ayat 12 surat an-Nahl yang artinya:
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya)”
Dalam abad-abad yang lalu umat Islam hanya dapat meraba serta menerka saja jawabannya, maka kita yang hidup dalam abad ke-20 ini telah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana teknologi propulsi roket dan pengendalian elektronik yang canggih telah berhasil melontarkan manusia sampai ke permukaan bulan dan mengembalikannya ke bumi serta mengirimkan pesawat antariksa yang masing-masing mempunyai misi tertentu ke planet dalam tata surya kita.[5]
4. Jenis-Jenis Pengetahuan
Di kalangan masyarakat awam, kita akan menemukan bermacam-macam pengetahuan dan kepercayaan. Burung hantu yang berteriak di malam hari ada yang mempercayai sebagai pertanda munculnya malapetaka, pelangi dianggap tangga bidadari yang sedang turun mandi. Orang yang mempunyai ilmu, sehingga tidak mempan di tembak dengan peluru / pedang dan masih banyak lagi penjelasan kepercayaan yang kita temukan dalam masyarakat.
Berdasarkan pada hal-hal yang kita sebutkan di atas maka pengetahuan manusia dapat digolongkan atas 4 jenis pengetahuan.
a. Pengetahuan takhayul / mitos
Mitos adalah suatu penjelasan atas fakta yang tidak ada kebenarannya, hanya didengar dan dipercaya begitu saja. Ada juga yang disebut legenda yaitu ceritera rakyat yang berdasarkan mitos.
Contohnya: pada zaman dahulu orang percaya bahwa pelangi dianggap tangga bidadari yang sedang turun mandi, bunyi burung hantu dianggap pertanda munculnya bencana, kaisar Jepang adalah keturunan dewa matahari.
b. Pengetahuan ilmiah
Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah (penelitian) dengan pengamatan panca indra dan penalaran akal budi yang disusun secara sistematika untuk menjelaskan fakta yang sedang dihadapi, yang merangsang panca indra dan pikiran manusia.
Pengetahuan ilmiah dapat dibagi lagi seperti berikut:
Pengetahuan ilmiah :
Fakta objektif benar
Tafsiran fakta ---> Benar, objektif
---> Salah, objektif
Manusia berhadapan dengan fakta alam semesta, makhluk hidup atau benda mati, kemudian manusia menjelaskan fakta itu / memberi tafsiran pada fakta objektif yang tidak dapat dibantah lagi. Misalnya hukum Archimedes, yang menyatakan bahwa benda padat yang tercelup dalam fluida, berkurang beratnya sebesar zat fluida yang dipindahkannya.
c. Pengetahuan supernatural
Pengetahuan supernatural adalah pengetahuan yang tidak termasuk pada takhayul dan pengetahuan ilmiah, namun mempunyai fakta pengetahuan supernatural tidak dapat dijangkau dengan panca indra maupun akal budi, sifatnya transrasional (di luar jangkauan akal budi). Karena itu pengetahuan ini tidak ditanggapi dengan akal budi dan bukan objek pengetahuan ilmiah dan IPA, tetapi masalah percaya, ditanggapi dengan iman, believe it or not yang sifatnya sangat pribadi dan menyangkut hak-hak azasi manusia.
d. Pengetahuan ilmiah semu (pseudo science)
Pengetahuan ilmiah semu adalah pengetahuan yang berdasarkan fakta ilmiah tetapi dicampur dengan kepercayaan dan hal-hal yang bersifat supernatural. Bangsa Babilonia kira-kira 2500 SM, dalam menyembuhkan penyakit disamping obat juga menggunakan mantra. Bangsa babilonia juga ahli dalam ilmu perbintangan dan memberikan nama pada rasi bintang menurut nama-nama binatang seperti Leo, Scorpio, Pisces, dan sebagainya. Ilmu perbintangan yang dihubungkan dengan kepercayaan ramalan ramalan nasib disebut astrologi. Astrologi bukan pengetahuan ilmiah melainkan pseudo science.[6]
C. Kesimpulan
Dari rangkaian kegiatan mulai dari observasi dan pengukuran yang dilakukan dalam pemeriksaan yang diperintahkan Allah Swt itu, dan penggunaan akal serta pikiran untuk menganalisa data untuk sampai pada kesimpulan yang rasional itulah kegiatan utama dari pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya. Ia bersifat empiris / eksperimental.
Dan dengan semakin majunya turut pemikiran dan kebudayaan, ada manusia yang tidak percaya lagi kepada hal-hal yang bersifat supernatural, tidak percaya kepada ajaran agama, mereka hanya mengandalkan solusi dari IPTEK untuk mengatasi masalah kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Ir. R. H. A. Sahirul Alim, M.Sc. Menguak Keterpaduan Sains, Teknologi dan Islam, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1999.
Drs. Kaelany HD, MA., Islam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, PT. Bumi Aksara, Jakrta, 2000.
Prof. Achmad Baiquni, M.Sc., Al-Qur'an dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, PT. Dana Bakti Primayasa, Yogyakarta, 1994.
Drs. Amin Suyitno, M.Pd., Ilmu Alamiah Dasar, Semarang, 2002.
[1] Ir. R. H. A. Sahirul Alim, M.Sc. Menguak Keterpaduan Sains, Teknologi dan Islam, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1999, hal. 67.
[2] Drs. Kaelany HD, MA., Islam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, PT. Bumi Aksara, Jakrta, 2000, hal. 225.
[3] Ibid., hlm. 224.
[4] Prof. Achmad Baiquni, M.Sc., Al-Qur'an dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, PT. Dana Bakti Primayasa, Yogyakarta, 1994, hal. 120.
[5] Ibid., hlm. 68.
[6] Drs. Amin Suyitno, M.Pd., Ilmu Alamiah Dasar, Semarang, 2002
Islam di Spanyol
Spanyol diduduki umat Islam pada zaman khalifah al-Walid (705-715 M) salah seorang khalifah dari bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Ada tiga tokoh dalam penaklukan Spanyol di antaranya : Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad dan Musa ibn Nushain. Untuk pertama kalinya Thariq ibn Ziyad beserta pasukannya menyeberangi Selat kemudian mendarat dan menyiapkan pasukannya di Jabal Thariq (Gibraltar). Dengan ini, Raja Roderick dapat dikalahkan hingga akhirnya kota-kota penting dapat ditaklukkan seperti Cordova, Garnada, dan Toledo. (Dr. Badri Yatim, MA., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 87-89)
Pergantian amir tidak mempengaruhi operasi perluasan daerah, pada tahun 717-718 M. Operasi dilanjutkan dengan pemimpin al-Hurr bin Abdul Rahman al-Tsaqafi, gerakan menuju Spanyol Utara setelah menaklukkan Saragosa. Perluasan daerah itu terjadi pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M). Perluasan ke Spanyol masih diteruskan oleh setiap khalifah yang berkuasa di Damaskus. (Prof. Dr. Abu Su’ud, Islamologi Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, Jakarta, Rineka Cipta, 2003, hlm. 70)
Masuknya Islam di Spanyol hingga jatuhnya kerajaan Islam terakhir di sana, Islam mengalami enam periode dengan berbagai peradaban pada saat itu. Konflik Islam dengan Kristen, tidak adanya ideologi pemersatu, kesulitan ekonomi, tidak jelasnya sistem peralihan kekuasaan merupakan faktor-faktor yang mendukung hancurnya Islam di Spanyol, tapi meskipun demikian Islam berpengaruh besar terhadap peradaban di Eropa. (Dr. Badri Yatim, MA., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 110)
Spanyol atau dahulu lebih dikenal dengan Andalusia yang terletak di benua Eropa yang letak geografinya sangat dekat sekali dengan Afrika Utara yang pada waktu itu merupakan daerah perluasan Islam pada masa khalifah al-Walid sehingga memungkinkan bagi Islam untuk melakukan ekspansi ke daerah itu. Kira-kira selama 7 abad Islam mengibarkan benderanya di Spanyol, sudah barang tentu Islam meninggalkan peradaban-peradaban baik yang bersifat intelektual maupun segi fisik bangunan. Spanyol di bawah kekuasaan umat Islam telah mencapai kejayaan yang gemilang. Banyak kemajuan yang diperoleh dan pengaruhnya terasa sampai ke Eropa bahkan sampai ke seluruh dunia. Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat sekarang ini sangat berhutang budi kepada khazanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang pada zaman dahulu.
Spanyol merupakan tempat yang paling utama untuk menyerap peradaban Islam bagi Eropa, baik melalui hubungan politik, sosial maupun peradaban antar negara, hingga Eropa mengakui bahwa Spanyol di bawah pemerintahan umat Islam yang lebih maju dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya, terutama di bidang pemikiran sehingga timbul Averoisme (Ibn Ruysd-isme) yang menuntut kebebasan berfikir.
2. Masa Kemunduran (1250-1500) dan Latar Belakang / Sebab-Sebab Timbulnya Masa Kemunduran
Pada tahun 1258 M kota Baghdad yang menjadi pusat pemerintahan Bani Abbas dengan khalifah al-Mu’tashim jatuh ke tangan bangsa Mongol (dipimpin oleh Hulagu Khan). Bangsa Mongol yang beragama Syamaniah, bersama suku Nomad-nya berambisi menaklukkan dunia dan menghancurkan wilayah yang dilaluinya, mereka menyerang dan meluluh lantakkan kerajaan-kerajaan yang tak tunduk pada perintahnya. Sebagian besar penduduk di sembelih laksana binatang, kemudian dirampas hartanya, mereka melakukan perbuatan yang kejam dan ganas tidak berperikemanusiaan. Gedung-gedung yang indah, madrasah, Masjid mereka rusak. Atas kemenangan umat Islam mereka mendirikan dinasti Ilhan yang diteruskan dengan berbagai serangan oleh Timur Lenk, anak keturunan bangsa Mongol. Ada satu dinasti yang selamat dari kehancuran akibat serangan Mongol, yaitu dinasti Mamalik Mesir, hingga akhirnya pusat ilmu yang tadinya ada di Baghdad perpindah ke Mesir.
Adapun sebab-sebab timbulnya masa kemunduran adalah :
a. Jatuhnya kota Baghdad ke tangan bangsa Mongol
b. Runtuhnya daulat Abbasiyah yang memerintah Baghdad pada masa itu (1258 M)
c. Terpecahnya kekuasaan Islam pada saat itu, kekuasaan Islam terpecah menjadi tiga daerah kekuasaan :
1) Kekuasaan bangsa Mongol dengan luas daerah kekuasaannya dari India sampai ke Syria
2) Kekuasaan bangsa Turki dari perbatasan Syria sampai ke Mesir
3) Kekuasaan bangsa Arab di daerah-daerah selain daerah yang dikuasai oleh Mongol dan Turki.
d. Kurangnya persatuan di antara umat Islam.
(Dr. Badri Yatim, MA., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 111-128 dan Dr. Muhammad Sayyid al-Wakil, Wajah Dunia Islam dari Bani Umayyah hingga Imperialisme Modern, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2005, hlm. 229-248)
Bangsa Mongol yang berskala kecil dan termasuk bangsa Nomaden telah begitu kuat mengubah sejarah peradaban Islam dari sepanjang Laut Tengah dengan penuh kegigihan mendirikan kemiliteran yang begitu hebat dalam kurun waktu yang relatif singkat. Sehingga dapat mengalahkan umat Islam yang berskala besar. Peradaban yang di bina sekian lama dalam masa beberapa periode (dinasti Abbasiyah dan dinasti Umayyah) lenyap begitu saja oleh bangsa Mongol tak berperikemanusiaan, rakus akan kekuasaan. Mereka menganggap hanya ada satu Tuhan di dunia, makanya ia juga beranggapan hanya ada satu penguasa di dunia, yakni dari bangsanya yaitu Mongol.
3. Tiga Kerajaan Besar dan Penyebab Kemundurannya
A. Kerajaan Turki Usmani
Pendiri kerajaan ini adalah Usman I, ia adalah kabilah Oghuz, yang tinggal di Mongol dan daerah utara negara Cina. Atas dasar membantu berperang melawan Bizantium, oleh Sultan Alauddin II mereka diberi tanah di Asia Kecil, atas kemenangannya kemudian oleh Usman didirikan sebagai kerajaan Turki Usmani (1290 M – 1326 M) hingga akhirnya mengadakan perluasan daerah dan menaklukkan kota-kota lain seperti Abdrianopel yang kemudian dijadikan sebagai Ibu Kota kerajaan yang baru. Turki Usmani sangat terkenal dengan kemiliterannya sehingga mampu mengadakan ekspansi sampai Eropa. Kerajaan Turki Usmani bermadhab sunny, mengalami kejayaan pada masa Sultan Sulaiman al-Qanuni.
Penyebab kemunduran kerajaan Turki Usmani
1) Wilayah kekuasaan yang sangat luas
2) Heterogenitas enitas penduduk
3) Kelemahan para penguasa
4) Budaya Pungli
5) Pemberontakan tentara jenis sari
6) Merosotnya ekonomi
7) Terjadinya stagnasi dalam lapangan ilmu dan teknologi.
B. Kerajaan Safawi di Persia
Kerajaan Safawi berasal dari tarekat Safawiyah yang berdiri di Ardabil, Azerbaijan dan didirikan oleh Safi al-Din (1252–1334 M). Kerajaan Safawi menetapkan Syi’ah sebagai madzhab negara. Kerajaan ini di anggap sebagai peletak dasar terbentuknya negara Iran. Puncak kejayaan pada masa Abbas I, karena mampu mengatasi kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah di rebut oleh kerajaan lain pada masa raja sebelumnya.
Penyebab kemunduran kerajaan Safawi di Persia
1) Konflik berkepanjangan dengan kerajaan Utsmani
2) Dekadensi moral yang melanda sebagian para pemimpin kerajaan Safawi
3) Gagalnya pembentukan pasukan Ghulam (budak-budak) yang dibentuk oleh Abbas I
4) Sering terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana.
C. Kerajaan Mughal di India
Kerajaan Mughal di India dengan Delhi sebagai Ibu Kota, didirikan oleh Zahiruddin Babur (1482–1530 M). Pada awalnya Babur dimintai bantuan untuk menjatuhkan pemerintahan Ibrahim di Delhi oleh paman penguasa India (Ibrahim Lodi), dan akhirnya kemenangan berpihak padanya, tetapi rajanya meninggal dunia. Akhirnya Babur memasuki kota Delhi karena di sana vacuum of power sehingga ia menegakkan pemerintahannya dan mendirikan kerajaan Mughol di India. Kerajaan Mughal terkenal dengan kemiliterannya sehingga Sultan adalah penguasa diktator. Kerajaan Mughal menetapkan Sunny sebagai madzhab negara kerajaan Mughal di India hancur pada tahun 1858 M.
Penyebab hancurnya kerajaan Mughal di India
1) Terjadi stagnasi dalam pembinaan kekuatan militer sehingga operasi militer Inggris di wilayah-wilayah pantai tidak dapat segera dipantau oleh kekuatan maritime mughal.
2) Kemerosotan moral dan hidup mewah di kalangan elit politik, yang mengakibatkan pemborosan dalam penggunaan uang negara.
3) Pendekatan Aurangzeb yang terlampau kasar dalam melaksanakan ide-ide puritan dan kecenderungan asketisnya, sehingga konflik antar agama sangat sukar diatasi oleh sultan-sultan sesudahnya.
4) Semua pewaris tahta adalah orang-orang lemah dalam bidang kepemimpinan.
(Dr. Badri Yatim, MA., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 111-128 dan Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1999, hlm. 427-496)
Suatu pertanyaan yang selalu membenak di hati, mengapa tiga kerajaan di atas disebut sebagai kerajaan besar? Kalau kita tengok ke belakang awal mula berdirinya tiga kerajaan tersebut adalah berdiri dengan sendiri secara mandiri tanpa meneruskan kekuasaan pemerintahan nenek moyangnya, dengan kemandiriannya dalam membentuk suatu pemerintahan tiga kerajaan besar itu mampu berkembang hingga mencapai kejayaan yang gemilang dengan memperluas kekuasaan di sekitarnya hingga mampu membangun peradaban-peradaban Islam yang dapat kita ketahui sampai sekarang. Walaupun secara kualitasnya masa keemasan tiga kerajaan besar tersebut lebih jauh gemilang dengan kerajaan (dinasti-dinasti) Islam pada masa klasik, yang mendahulukan ilmu pengetahuan dari pada kemiliteran yang berfungsi sebagai peperangan untuk melakukan ekspansi seperti yang dilakukan oleh tiga kerajaan besar ini.
4. Kedatangan Islam di Indonesia
Sekitar Abad I / 7 M, meskipun dalam frekuensi yang tidak terlalu besar, Islam telah masuk ke Indonesia tepatnya di pesisir Sumatera. (Prof. A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Banda Aceh, PT. al-Ma’arif, 1989, hlm. 7). Dengan bukti adanya makam Fatimah binti Maemun di Leran (Gresik, Jatim) yang berangka tahun tertua yang bergaya kufi memberi kesan kuat bahwa nisan tersebut dibuat di Gujarat, India. Tetapi kehadiran Islam di Indonesia secara lebih nyata sekitar abad 13 M, yakni dengan adanya makam Sultan Malik al-Saleh. (Prof. Dr. Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam di Indonesia, Jakarta, PT. Logos Wacana Ilmu, 1998, hlm. 54). Hal di atas diperkuat lagi dengan kedatangan Marco Polo yang telah menuliskan kisah tentang petualangannya ke Dunia Timur dan sempat singgah di Pelabuhan Perlak yang di situ sudah ada penduduk yang memeluk Islam.
Sejarah juga mencatat Islam datang ke Indonesia abad ke-7 hingga abad ke-16 ini melalui pedagang muslim (Arab, Persia dan India) yang datang ke pesisir Sumatera Utara. (Dr. Badri Yatim, MA., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 119)
Beberapa proses Islamisasi di Indonesia antara lain lewat jalur perdagangan, perkawinan antara saudagar dengan penduduk pribumi, kesenian, pondok pesantren, politik maupun tasawuf. (Dr. Badri Yatim, MA., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 202–204)
Islam sangat mudah masuk ke Indonesia, karena Islam bersifat fleksibel, luntur, lunak, tidak memaksa, dibuktikan dengan adanya akulturasi antara kebudayaan yang telah ada (Hindu–Budha) kepercayaan penduduk sebelum Islam datang, sebagai contoh yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dengan pewayangannya, sehingga masyarakat sedikit demi sedikit mau menerimanya. Islam menyiarkan suatu rangkaian ajaran dan cara serta gaya hidup, yang secara kualitatif lebih maju dari kebudayaan yang ada. Tidak hanya dibidang renungan teologia monotheismenya dibanding teologia polytheisme, tetapi juga di bidang kehidupan kemasyarakatan yang tidak mengenal kasta. Dan di banding kebudayaan asli kita, yang tidak mengenal sedikit saja menyerap pengaruh kebudayaan Hindu–Budha, di mana masih dominan paham yang oleh Barat dicapnya sebagai “Animisme” dan “Dinamisme” primitif. Maka ajaran Islam lebih jelas secara kualitatif jauh lebih maju, terutama di bidang teologia monotheismenya yang membebaskan manusia dari belenggu ketakhayulan dan kemusyrikan.
5. Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia
A. Kerajaan Samudra Pasai
Samudra Pasai terletak di pesisir timur laut Aceh dan merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia, diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke-13 M dengan raja yang pertamanya adalah Malik al-Saleh dengan pusat kerajaanya ada di Muara Sungai Peusangan. Kerajaan berlangsung sampai abad 1524 M Samudra Pasai ditaklukkan Portugis dan akhirnya pada tahun 1524 M di aneksasi oleh raja Aceh, Ali Mughyat Syah dan selanjutnya ada di bawah pengaruh kesultanan Aceh.
B. Kerajaan Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh terletak di Aceh Besar (sekarang), berdiri pada tahun ke-15 M dengan raja Ali Mughyat Syah. Puncak kekuasaan terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608–1637 M), kerajaan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan Turki Usmani pada saat itu. Pada masa itu daerah sekitarnya sudah memeluk Islam kecuali rakyat batak. Runtuhnya Aceh ketika tonggak kepemimpinan dipimpin oleh seorang perempuan pada tahun 1641–1699, beberapa wilayah taklukannya lepas dan terpecah belah hingga akhirnya pada abad ke–18 M Kasultanan Aceh tinggal bayangan belaka.
C. Kerajaan Demak
Kerajaan Demak merupakan kerajaan pertama di Pulau Jawa dengan rajanya Raden patah, terjadi kurang lebih sekitar abad ke-15 hingga awal abad ke-16.
D. Kerajaan Pajang
Pajang merupakan lanjutan dari kerajaan Demak terletak di Kartasura, kerajaan Pajang merupakan kerajaan pertama di pedalaman pulau Jawa. Sultan pertamanya adalah Jaka Tingkir atau Adiwijaya. Pada masa sejarah Islam di Jawa yang asalnya berada di pesisir pantai kini berpindah ke pedalaman yang membawa akibat besar dalam perkembangan Islam di Jawa. Riwayat kerajaan Pajang berakhir tahun 1618.
E. Kerajaan Mataram
Pendiri kerajaan Mataram adalah Ki Pamenahan, yang mana mendapat tanah Mataram oleh Sultan Adiwijaya untuk memberontak Aria Penangsang, dan Ki Pamenahan mendapatkan kemenangan, hingga akhirnya di sana mulai ditempati pada tahun 1577 M dan menjalankan pemerintahan. Pada masa Sultan Agung kontak-kontak bersenjata antara kerajaan Mataram dengan VOC mulai terjadi.
Konflik datang bertubi-tubi, dalam setiap konflik yang tampil sebagai lawan adalah mereka yang didukung oleh para ulama yang bertolak dari keprihatinan agama, hingga terjadi pemerontakan-pemberontakan yang mengakibatkan runtuhnya Keraton Mataram.
F. Kerajaan Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah kerajaan yang pertama yang ada di Jawa Barat, pendirinya adalah Sunan Gunung Jati pada abad ke-16.
G. Kerajaan Banten
Pendiri kerajaan Banten adalah Hasanuddin putra dari Sunan Gunung Jati pada tahun 1568 dan beliau adalah raja pertamanya. Kesultanan bergantian secara turun temurun hingga akhirnya pada masa Sultan Abul Fath terjadi beberapa kali peperangan antar Banten dan VOC yang berakhir dengan disetujuinya perjanjian perdamaian tahun 1659 M.
H. Kerajaan Banjar di Kalimantan
Pendirinya adalah Pangeran Samudera atau Sultan Suryatullah / Suryan Syah setelah berhasil menghalau serangan dari Daha berkat bantuan Demak. Kerajaan ini merupakan penerus dari kerajaan Daha yang mayoritas masih menganut agama Hindu–Budha.
I. Kerajaan di Maluku
Sekitar tahun 1460 M raja Ternate, Vongi Tidore memeluk agama Islam, raja yang benar-benar muslim adalah Zayn al-‘Abidin (1486–1500 M), karena usia Islam masih muda di Ternate, Portugis yang tiba dari sana tahun 1522 M, berharap dapat menggantikannya dengan agama Kristen, tetapi usaha mereka hanya mendatangkan hasil yang sedikit.
J. Kerajaan di Sulawesi
Kerajaan ini bernama kerajaan Gowa-Tallo, kerajaan kembar yang saling berbatasan, biasanya disebut kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di Semenanjung Barat Daya pulau Sulawesi, raja pertamanya adalah Alauddin (1591–1636 M), karena tradisi seorang raja menyampaikan pesan, maka dengan itu kerajaan Soppeng, Wajo, Bone pun akhirnya menerima Islam.
Jika kita teliti lebih lanjut letak geografi kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia mayoritas terletak di pesisir pantai seperti Samudra Pasai, Demak, Aceh, Sulawesi, Maluku, Kalimantan itu dikarenakan lajur pelayaran merupakan sarana perdagangan antar pulau sehingga memungkinkan untuk proses Islamisasi di sana, yang bisa disalurkan lewat beberapa kerajaan. Adapun kerajaan yang ada di pedalaman merupakan masa transisi politik pesisir ke pedalaman yang dapat mengembangkan Islam secara merata baik di pesisir, perkotaan maupun di pedalaman. Perlu diketahui bahwa kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia sangat dipengaruhi oleh peran Walisongo, dibuktikan dengan adanya kesultanan di Cirebon yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati yang sebelumnya banyak berkiprah di Demak, dan adanya Sunan Giri yang menjadi guru para raja di Maluku yang berguru di Sunan Giri dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Ambary, Hasan Muarif, Prof. Dr. Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam di Indonesia, Jakarta, PT. Logos Wacana Ilmu, 1998.
Hasymy, A., Prof. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Banda Aceh, PT. al-Ma’arif, 1989.
Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1999.
Su’ud, Abu, Prof. Dr. Islamologi Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, Jakarta, Rineka Cipta, 2003.
Wakil, Muhammad Sayyid, Dr. Wajah Dunia Islam dari Bani Umayyah hingga Imperialisme Modern, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2005.
Yatim, Badri, Dr. MA., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004
Spanyol diduduki umat Islam pada zaman khalifah al-Walid (705-715 M) salah seorang khalifah dari bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Ada tiga tokoh dalam penaklukan Spanyol di antaranya : Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad dan Musa ibn Nushain. Untuk pertama kalinya Thariq ibn Ziyad beserta pasukannya menyeberangi Selat kemudian mendarat dan menyiapkan pasukannya di Jabal Thariq (Gibraltar). Dengan ini, Raja Roderick dapat dikalahkan hingga akhirnya kota-kota penting dapat ditaklukkan seperti Cordova, Garnada, dan Toledo. (Dr. Badri Yatim, MA., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 87-89)
Pergantian amir tidak mempengaruhi operasi perluasan daerah, pada tahun 717-718 M. Operasi dilanjutkan dengan pemimpin al-Hurr bin Abdul Rahman al-Tsaqafi, gerakan menuju Spanyol Utara setelah menaklukkan Saragosa. Perluasan daerah itu terjadi pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M). Perluasan ke Spanyol masih diteruskan oleh setiap khalifah yang berkuasa di Damaskus. (Prof. Dr. Abu Su’ud, Islamologi Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, Jakarta, Rineka Cipta, 2003, hlm. 70)
Masuknya Islam di Spanyol hingga jatuhnya kerajaan Islam terakhir di sana, Islam mengalami enam periode dengan berbagai peradaban pada saat itu. Konflik Islam dengan Kristen, tidak adanya ideologi pemersatu, kesulitan ekonomi, tidak jelasnya sistem peralihan kekuasaan merupakan faktor-faktor yang mendukung hancurnya Islam di Spanyol, tapi meskipun demikian Islam berpengaruh besar terhadap peradaban di Eropa. (Dr. Badri Yatim, MA., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 110)
Spanyol atau dahulu lebih dikenal dengan Andalusia yang terletak di benua Eropa yang letak geografinya sangat dekat sekali dengan Afrika Utara yang pada waktu itu merupakan daerah perluasan Islam pada masa khalifah al-Walid sehingga memungkinkan bagi Islam untuk melakukan ekspansi ke daerah itu. Kira-kira selama 7 abad Islam mengibarkan benderanya di Spanyol, sudah barang tentu Islam meninggalkan peradaban-peradaban baik yang bersifat intelektual maupun segi fisik bangunan. Spanyol di bawah kekuasaan umat Islam telah mencapai kejayaan yang gemilang. Banyak kemajuan yang diperoleh dan pengaruhnya terasa sampai ke Eropa bahkan sampai ke seluruh dunia. Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat sekarang ini sangat berhutang budi kepada khazanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang pada zaman dahulu.
Spanyol merupakan tempat yang paling utama untuk menyerap peradaban Islam bagi Eropa, baik melalui hubungan politik, sosial maupun peradaban antar negara, hingga Eropa mengakui bahwa Spanyol di bawah pemerintahan umat Islam yang lebih maju dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya, terutama di bidang pemikiran sehingga timbul Averoisme (Ibn Ruysd-isme) yang menuntut kebebasan berfikir.
2. Masa Kemunduran (1250-1500) dan Latar Belakang / Sebab-Sebab Timbulnya Masa Kemunduran
Pada tahun 1258 M kota Baghdad yang menjadi pusat pemerintahan Bani Abbas dengan khalifah al-Mu’tashim jatuh ke tangan bangsa Mongol (dipimpin oleh Hulagu Khan). Bangsa Mongol yang beragama Syamaniah, bersama suku Nomad-nya berambisi menaklukkan dunia dan menghancurkan wilayah yang dilaluinya, mereka menyerang dan meluluh lantakkan kerajaan-kerajaan yang tak tunduk pada perintahnya. Sebagian besar penduduk di sembelih laksana binatang, kemudian dirampas hartanya, mereka melakukan perbuatan yang kejam dan ganas tidak berperikemanusiaan. Gedung-gedung yang indah, madrasah, Masjid mereka rusak. Atas kemenangan umat Islam mereka mendirikan dinasti Ilhan yang diteruskan dengan berbagai serangan oleh Timur Lenk, anak keturunan bangsa Mongol. Ada satu dinasti yang selamat dari kehancuran akibat serangan Mongol, yaitu dinasti Mamalik Mesir, hingga akhirnya pusat ilmu yang tadinya ada di Baghdad perpindah ke Mesir.
Adapun sebab-sebab timbulnya masa kemunduran adalah :
a. Jatuhnya kota Baghdad ke tangan bangsa Mongol
b. Runtuhnya daulat Abbasiyah yang memerintah Baghdad pada masa itu (1258 M)
c. Terpecahnya kekuasaan Islam pada saat itu, kekuasaan Islam terpecah menjadi tiga daerah kekuasaan :
1) Kekuasaan bangsa Mongol dengan luas daerah kekuasaannya dari India sampai ke Syria
2) Kekuasaan bangsa Turki dari perbatasan Syria sampai ke Mesir
3) Kekuasaan bangsa Arab di daerah-daerah selain daerah yang dikuasai oleh Mongol dan Turki.
d. Kurangnya persatuan di antara umat Islam.
(Dr. Badri Yatim, MA., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 111-128 dan Dr. Muhammad Sayyid al-Wakil, Wajah Dunia Islam dari Bani Umayyah hingga Imperialisme Modern, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2005, hlm. 229-248)
Bangsa Mongol yang berskala kecil dan termasuk bangsa Nomaden telah begitu kuat mengubah sejarah peradaban Islam dari sepanjang Laut Tengah dengan penuh kegigihan mendirikan kemiliteran yang begitu hebat dalam kurun waktu yang relatif singkat. Sehingga dapat mengalahkan umat Islam yang berskala besar. Peradaban yang di bina sekian lama dalam masa beberapa periode (dinasti Abbasiyah dan dinasti Umayyah) lenyap begitu saja oleh bangsa Mongol tak berperikemanusiaan, rakus akan kekuasaan. Mereka menganggap hanya ada satu Tuhan di dunia, makanya ia juga beranggapan hanya ada satu penguasa di dunia, yakni dari bangsanya yaitu Mongol.
3. Tiga Kerajaan Besar dan Penyebab Kemundurannya
A. Kerajaan Turki Usmani
Pendiri kerajaan ini adalah Usman I, ia adalah kabilah Oghuz, yang tinggal di Mongol dan daerah utara negara Cina. Atas dasar membantu berperang melawan Bizantium, oleh Sultan Alauddin II mereka diberi tanah di Asia Kecil, atas kemenangannya kemudian oleh Usman didirikan sebagai kerajaan Turki Usmani (1290 M – 1326 M) hingga akhirnya mengadakan perluasan daerah dan menaklukkan kota-kota lain seperti Abdrianopel yang kemudian dijadikan sebagai Ibu Kota kerajaan yang baru. Turki Usmani sangat terkenal dengan kemiliterannya sehingga mampu mengadakan ekspansi sampai Eropa. Kerajaan Turki Usmani bermadhab sunny, mengalami kejayaan pada masa Sultan Sulaiman al-Qanuni.
Penyebab kemunduran kerajaan Turki Usmani
1) Wilayah kekuasaan yang sangat luas
2) Heterogenitas enitas penduduk
3) Kelemahan para penguasa
4) Budaya Pungli
5) Pemberontakan tentara jenis sari
6) Merosotnya ekonomi
7) Terjadinya stagnasi dalam lapangan ilmu dan teknologi.
B. Kerajaan Safawi di Persia
Kerajaan Safawi berasal dari tarekat Safawiyah yang berdiri di Ardabil, Azerbaijan dan didirikan oleh Safi al-Din (1252–1334 M). Kerajaan Safawi menetapkan Syi’ah sebagai madzhab negara. Kerajaan ini di anggap sebagai peletak dasar terbentuknya negara Iran. Puncak kejayaan pada masa Abbas I, karena mampu mengatasi kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah di rebut oleh kerajaan lain pada masa raja sebelumnya.
Penyebab kemunduran kerajaan Safawi di Persia
1) Konflik berkepanjangan dengan kerajaan Utsmani
2) Dekadensi moral yang melanda sebagian para pemimpin kerajaan Safawi
3) Gagalnya pembentukan pasukan Ghulam (budak-budak) yang dibentuk oleh Abbas I
4) Sering terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana.
C. Kerajaan Mughal di India
Kerajaan Mughal di India dengan Delhi sebagai Ibu Kota, didirikan oleh Zahiruddin Babur (1482–1530 M). Pada awalnya Babur dimintai bantuan untuk menjatuhkan pemerintahan Ibrahim di Delhi oleh paman penguasa India (Ibrahim Lodi), dan akhirnya kemenangan berpihak padanya, tetapi rajanya meninggal dunia. Akhirnya Babur memasuki kota Delhi karena di sana vacuum of power sehingga ia menegakkan pemerintahannya dan mendirikan kerajaan Mughol di India. Kerajaan Mughal terkenal dengan kemiliterannya sehingga Sultan adalah penguasa diktator. Kerajaan Mughal menetapkan Sunny sebagai madzhab negara kerajaan Mughal di India hancur pada tahun 1858 M.
Penyebab hancurnya kerajaan Mughal di India
1) Terjadi stagnasi dalam pembinaan kekuatan militer sehingga operasi militer Inggris di wilayah-wilayah pantai tidak dapat segera dipantau oleh kekuatan maritime mughal.
2) Kemerosotan moral dan hidup mewah di kalangan elit politik, yang mengakibatkan pemborosan dalam penggunaan uang negara.
3) Pendekatan Aurangzeb yang terlampau kasar dalam melaksanakan ide-ide puritan dan kecenderungan asketisnya, sehingga konflik antar agama sangat sukar diatasi oleh sultan-sultan sesudahnya.
4) Semua pewaris tahta adalah orang-orang lemah dalam bidang kepemimpinan.
(Dr. Badri Yatim, MA., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 111-128 dan Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1999, hlm. 427-496)
Suatu pertanyaan yang selalu membenak di hati, mengapa tiga kerajaan di atas disebut sebagai kerajaan besar? Kalau kita tengok ke belakang awal mula berdirinya tiga kerajaan tersebut adalah berdiri dengan sendiri secara mandiri tanpa meneruskan kekuasaan pemerintahan nenek moyangnya, dengan kemandiriannya dalam membentuk suatu pemerintahan tiga kerajaan besar itu mampu berkembang hingga mencapai kejayaan yang gemilang dengan memperluas kekuasaan di sekitarnya hingga mampu membangun peradaban-peradaban Islam yang dapat kita ketahui sampai sekarang. Walaupun secara kualitasnya masa keemasan tiga kerajaan besar tersebut lebih jauh gemilang dengan kerajaan (dinasti-dinasti) Islam pada masa klasik, yang mendahulukan ilmu pengetahuan dari pada kemiliteran yang berfungsi sebagai peperangan untuk melakukan ekspansi seperti yang dilakukan oleh tiga kerajaan besar ini.
4. Kedatangan Islam di Indonesia
Sekitar Abad I / 7 M, meskipun dalam frekuensi yang tidak terlalu besar, Islam telah masuk ke Indonesia tepatnya di pesisir Sumatera. (Prof. A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Banda Aceh, PT. al-Ma’arif, 1989, hlm. 7). Dengan bukti adanya makam Fatimah binti Maemun di Leran (Gresik, Jatim) yang berangka tahun tertua yang bergaya kufi memberi kesan kuat bahwa nisan tersebut dibuat di Gujarat, India. Tetapi kehadiran Islam di Indonesia secara lebih nyata sekitar abad 13 M, yakni dengan adanya makam Sultan Malik al-Saleh. (Prof. Dr. Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam di Indonesia, Jakarta, PT. Logos Wacana Ilmu, 1998, hlm. 54). Hal di atas diperkuat lagi dengan kedatangan Marco Polo yang telah menuliskan kisah tentang petualangannya ke Dunia Timur dan sempat singgah di Pelabuhan Perlak yang di situ sudah ada penduduk yang memeluk Islam.
Sejarah juga mencatat Islam datang ke Indonesia abad ke-7 hingga abad ke-16 ini melalui pedagang muslim (Arab, Persia dan India) yang datang ke pesisir Sumatera Utara. (Dr. Badri Yatim, MA., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 119)
Beberapa proses Islamisasi di Indonesia antara lain lewat jalur perdagangan, perkawinan antara saudagar dengan penduduk pribumi, kesenian, pondok pesantren, politik maupun tasawuf. (Dr. Badri Yatim, MA., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 202–204)
Islam sangat mudah masuk ke Indonesia, karena Islam bersifat fleksibel, luntur, lunak, tidak memaksa, dibuktikan dengan adanya akulturasi antara kebudayaan yang telah ada (Hindu–Budha) kepercayaan penduduk sebelum Islam datang, sebagai contoh yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dengan pewayangannya, sehingga masyarakat sedikit demi sedikit mau menerimanya. Islam menyiarkan suatu rangkaian ajaran dan cara serta gaya hidup, yang secara kualitatif lebih maju dari kebudayaan yang ada. Tidak hanya dibidang renungan teologia monotheismenya dibanding teologia polytheisme, tetapi juga di bidang kehidupan kemasyarakatan yang tidak mengenal kasta. Dan di banding kebudayaan asli kita, yang tidak mengenal sedikit saja menyerap pengaruh kebudayaan Hindu–Budha, di mana masih dominan paham yang oleh Barat dicapnya sebagai “Animisme” dan “Dinamisme” primitif. Maka ajaran Islam lebih jelas secara kualitatif jauh lebih maju, terutama di bidang teologia monotheismenya yang membebaskan manusia dari belenggu ketakhayulan dan kemusyrikan.
5. Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia
A. Kerajaan Samudra Pasai
Samudra Pasai terletak di pesisir timur laut Aceh dan merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia, diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke-13 M dengan raja yang pertamanya adalah Malik al-Saleh dengan pusat kerajaanya ada di Muara Sungai Peusangan. Kerajaan berlangsung sampai abad 1524 M Samudra Pasai ditaklukkan Portugis dan akhirnya pada tahun 1524 M di aneksasi oleh raja Aceh, Ali Mughyat Syah dan selanjutnya ada di bawah pengaruh kesultanan Aceh.
B. Kerajaan Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh terletak di Aceh Besar (sekarang), berdiri pada tahun ke-15 M dengan raja Ali Mughyat Syah. Puncak kekuasaan terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608–1637 M), kerajaan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan Turki Usmani pada saat itu. Pada masa itu daerah sekitarnya sudah memeluk Islam kecuali rakyat batak. Runtuhnya Aceh ketika tonggak kepemimpinan dipimpin oleh seorang perempuan pada tahun 1641–1699, beberapa wilayah taklukannya lepas dan terpecah belah hingga akhirnya pada abad ke–18 M Kasultanan Aceh tinggal bayangan belaka.
C. Kerajaan Demak
Kerajaan Demak merupakan kerajaan pertama di Pulau Jawa dengan rajanya Raden patah, terjadi kurang lebih sekitar abad ke-15 hingga awal abad ke-16.
D. Kerajaan Pajang
Pajang merupakan lanjutan dari kerajaan Demak terletak di Kartasura, kerajaan Pajang merupakan kerajaan pertama di pedalaman pulau Jawa. Sultan pertamanya adalah Jaka Tingkir atau Adiwijaya. Pada masa sejarah Islam di Jawa yang asalnya berada di pesisir pantai kini berpindah ke pedalaman yang membawa akibat besar dalam perkembangan Islam di Jawa. Riwayat kerajaan Pajang berakhir tahun 1618.
E. Kerajaan Mataram
Pendiri kerajaan Mataram adalah Ki Pamenahan, yang mana mendapat tanah Mataram oleh Sultan Adiwijaya untuk memberontak Aria Penangsang, dan Ki Pamenahan mendapatkan kemenangan, hingga akhirnya di sana mulai ditempati pada tahun 1577 M dan menjalankan pemerintahan. Pada masa Sultan Agung kontak-kontak bersenjata antara kerajaan Mataram dengan VOC mulai terjadi.
Konflik datang bertubi-tubi, dalam setiap konflik yang tampil sebagai lawan adalah mereka yang didukung oleh para ulama yang bertolak dari keprihatinan agama, hingga terjadi pemerontakan-pemberontakan yang mengakibatkan runtuhnya Keraton Mataram.
F. Kerajaan Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah kerajaan yang pertama yang ada di Jawa Barat, pendirinya adalah Sunan Gunung Jati pada abad ke-16.
G. Kerajaan Banten
Pendiri kerajaan Banten adalah Hasanuddin putra dari Sunan Gunung Jati pada tahun 1568 dan beliau adalah raja pertamanya. Kesultanan bergantian secara turun temurun hingga akhirnya pada masa Sultan Abul Fath terjadi beberapa kali peperangan antar Banten dan VOC yang berakhir dengan disetujuinya perjanjian perdamaian tahun 1659 M.
H. Kerajaan Banjar di Kalimantan
Pendirinya adalah Pangeran Samudera atau Sultan Suryatullah / Suryan Syah setelah berhasil menghalau serangan dari Daha berkat bantuan Demak. Kerajaan ini merupakan penerus dari kerajaan Daha yang mayoritas masih menganut agama Hindu–Budha.
I. Kerajaan di Maluku
Sekitar tahun 1460 M raja Ternate, Vongi Tidore memeluk agama Islam, raja yang benar-benar muslim adalah Zayn al-‘Abidin (1486–1500 M), karena usia Islam masih muda di Ternate, Portugis yang tiba dari sana tahun 1522 M, berharap dapat menggantikannya dengan agama Kristen, tetapi usaha mereka hanya mendatangkan hasil yang sedikit.
J. Kerajaan di Sulawesi
Kerajaan ini bernama kerajaan Gowa-Tallo, kerajaan kembar yang saling berbatasan, biasanya disebut kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di Semenanjung Barat Daya pulau Sulawesi, raja pertamanya adalah Alauddin (1591–1636 M), karena tradisi seorang raja menyampaikan pesan, maka dengan itu kerajaan Soppeng, Wajo, Bone pun akhirnya menerima Islam.
Jika kita teliti lebih lanjut letak geografi kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia mayoritas terletak di pesisir pantai seperti Samudra Pasai, Demak, Aceh, Sulawesi, Maluku, Kalimantan itu dikarenakan lajur pelayaran merupakan sarana perdagangan antar pulau sehingga memungkinkan untuk proses Islamisasi di sana, yang bisa disalurkan lewat beberapa kerajaan. Adapun kerajaan yang ada di pedalaman merupakan masa transisi politik pesisir ke pedalaman yang dapat mengembangkan Islam secara merata baik di pesisir, perkotaan maupun di pedalaman. Perlu diketahui bahwa kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia sangat dipengaruhi oleh peran Walisongo, dibuktikan dengan adanya kesultanan di Cirebon yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati yang sebelumnya banyak berkiprah di Demak, dan adanya Sunan Giri yang menjadi guru para raja di Maluku yang berguru di Sunan Giri dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Ambary, Hasan Muarif, Prof. Dr. Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam di Indonesia, Jakarta, PT. Logos Wacana Ilmu, 1998.
Hasymy, A., Prof. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Banda Aceh, PT. al-Ma’arif, 1989.
Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1999.
Su’ud, Abu, Prof. Dr. Islamologi Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, Jakarta, Rineka Cipta, 2003.
Wakil, Muhammad Sayyid, Dr. Wajah Dunia Islam dari Bani Umayyah hingga Imperialisme Modern, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2005.
Yatim, Badri, Dr. MA., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004
Langganan:
Komentar (Atom)